Memahami Organisasi Dalam Era Millenium

Memahami Organisasi Dalam Era Millenium : Era yang sekarang merupakan suatu era perubahan yang sangat cepat. Dalam era ini kata kunci adalah “Change” Seperti yang dikatakan oleh seorang konsultan organisasi “If survival is the aim, change is the game.” [Fitzgerald, Laurie A.,]. Era yang sekarang, yang juga dikenal sebagai era globalisasi merupakan suatu era baru dalam peradaban manusia. Kecepatan informasi, super computer, tehnologi, dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat menyebabkan sadar kembalinya manusia pada ucapan Heraclitus “satu-satunya yang kekal adalah perubahan, anda tidak pernah menapakkan kaki anda kedua kalinya pada sungai yang sama”

Managemen perubahan/Change Management tidak lagi merupakan suatu “buzz word or fad” melainkan sudah merupakan kewajiban bagi setiap organisasi, setidak-tidaknya dalam wacana organisasi. Mata ajaran Managemen perubahan/Change Management dapat dipastikan terdapat dalam kurikulum-kurikulum sekolah bisnis. Namun, harus diakui keberhasilan dalam pelaksanaan Change Management tidak terlalu sukses. Tehnik-tehnik Change Management seperti Organizational Reengineering, Organizational Redesign, Survey feedback, Process consultation ........ etc dapat dijumpai dalam setiap wacana mengenai organisasi. Setiap tehnik baru dalam melakukan perubahan yang ditawarkan oleh konsultan atau teoritisi organisasi akan segera mendapat tempat dalam pikiran para manager organisasi, meskipun tidak didukung oleh data penelitian yang akurat mengenai keberhasilannya.

Hasil yang kurang memuaskan dalam melakukan perubahan organisasi menimbulkan suatu rasa ingin tahu “apakah ada sesuatu yang kurang tepat dalam pemahaman organisasi selama ini?”. Mungkin diperlukan suatu cara pandang baru mengenai organisasi yang dapat membuat pemahaman yang lebih “baik” tentang organisasi dalam era perubahan ini.

Pemahaman Organisasi Saat Ini.
Cara pandang mengenai organisasi tidak dapat dilepaskan dari “semangat zaman”, dalam arti cara pandang tentang organisasi dipengaruhi kuat sekali oleh cara pandang yang dominan mengenai alam realitas pada saat itu.

Seperti diketahui organisasi bisnis mulai diperkenalkan secara “effektif” dalam skala besar pada saat mulainya Revolusi Industri. Sebelum itu, hanya organisasi militer dan Gereja yang memiliki skala yang luas. Sementara itu, organisasi bisnis hanya berada dalam skala yang lebih kecil, hanya meliputi keluarga [home industry] atau sekumpulan artisan yang berkumpul dalam “guild’. Karena itu dapat dipahami bahwa organisasi bisnis skala “besar” yang mula-mula mengambil model seperti organisasi militer atau Gereja dengan hierarkhi dan wewenang yang jelas dalam organisasi. Istilah-istilah seperti “unity of command, scalar chain, staff and line, esprit de corps” merupakan beberapa prinsip dari classical management. Para tokoh-tokoh pertama dalam karya management seperti Henry Fayol, Mary Parker Fowlet, Lyndall Urwick, Frederick Taylor masih sangat kuat dipengaruhi oleh pola pikir seperti ini.

Pada saat yang bersamaan dengan Revolusi Industri, Eropa juga berada pada masa Renaissance, dengan tokoh-tokoh seperti Rene Descartes, Isaac Newton, Locke ...etc. Pandangan yang mengemuka pada saat-saat ini adalah pandangan yang mengedepankan rasio, yang memandang dunia sebagai “machine” atau “clockwork universe“ yang berjalan dengan mengikuti hukum alam mekanistis dan teratur. Pandangan ini dikenal sebagai Newtonian/Cartesian worldview, yang bersifat mekanistis dengan ciri-ciri antara lain reduksionis, analitis, keteraturan, prediktabilitas ....etc. Pandangan ini menekankan pada dualitas, pemisahan mind and matter oleh Descartes [cogito, ergo sum]. Newtonian /Cartesian worldview ini tidak saja terdapat dalam ilmu sosial dan organisasi, tapi merambah kesemua bidang ilmu biologi, kedokteran, ekonomi, psikologi dan terutama sekali fisika [Capra, 1982]. Pengetahuan, ilmu pengetahuan dan tehnologi yang berkembang didasarkan pada pandangan dunia yang mekanistik, yang menekankan pada “objectivity”. Pengamat terpisah dari yang diamati, dan mengambil jarak supaya yang didapat adalah sesuatu yang obyektif [matter is separated from mind]. Harus diakui, bahwa Newtonian/Cartesian worldview membawa peradaban manusia maju sampai sejauh ini. Dengan diterimanya Newtonian/Cartesian worldview secara luas sebagai paradigm, maka ilmu-ilmu kealaman menjadi model bagi ilmu-ilmu yang lain termasuk ilmu sosial, humaniora mengambil referensi physic as a model. Kehidupan pun dipandang sebagai sesuatu yang mekanistis [see Capra, 1982, ch 3 – 4]. Dalam psikologi, pandangan mekanistik ini tampak pengaruhnya pada pencandraan tentang manusia dalam berbagai teori kepribadian dengan segala macam alat ukurnya, model-model analitis tentang intelegensi, emotional intelligence, spiritual intelligence, psychoanalysis, behaviourism. Aspek-aspek ini dilihat dan dianalisis sebagai unit-unit, dengan tidak memperhatikan pola dan hubungan diantaranya.

Manusia selalu memandang organisasi dengan menggunakan metaphor [Morgan, 1986], sebab dengan menggunakan metaphor, maka organisasi yang abstrak lebih mudah dikomunikasikan. Metaphor yang digunakan untuk menjelaskan phenomena organisasi tidak dapat dilepaskan dari paradigm/worldview yang dominan pada saat tersebut. Pada saat Cartesian/Newtonian worldview mendominasi pandangan manusia tentang universe as a clockwork, maka pandangan tentang organisasi sebagai mesin merupakan pandangan yang dominan. Sebagai sesuatu yang mekanistis, maka predictability, order and control merupakan hal yang penting dan utama. Dapat dipahami bahwa semua teori-teori organisasi pada era Cartesian/Newtonian worldview, menekankan pada pentingnya keteraturan, prediksi dan kontrol. Anggota organisasi pun dipandang sebagai layaknya mesin, yang dapat setiap saat diganti. Ungkapan-ungkapan if it isn’t broken, don’t fix it, the squeaky wheel get the most, ...etc merupakan metafor-metafor mekanistik bagi organisasi yang memenuhi pikiran para anggota dan pengelola organisasi, dan sangat mempengaruhi perilaku dalam organisasi. Organisasi sebagai mesin ini mendapatkan penguatan secara “scientific” pada saat diperkenalkannya scientific management oleh Frederick Taylor, dan berlanjut dengan berbagai teori organisasi lainnya. Meskipun ada penekanan pada faktor manusia sejak Human Relation movement, Theory X Theory Y McGregor, namun pandangan yang mekanistik tetap berakar kuat. Ini dapat dilihat dengan jelas dalam “reengineering” organisasi yang dikemukakan oleh Hammer [1995]. Tanggung jawab, wewenang digambarkan dalam suatu bagan fungsional organisasi, sementara orang-orang diletakkan dalam peran-peran. Pengertian organisasi difokuskan pada struktur dan desain, tugas dan tanggung jawab, pengumpulan data yang sangat ekstensif, pengambilan keputusan yang “computerized” penyusunan jadwal, “to do list”, ..... etc yang kesemuanya menunjukkan bagaimana organisasi di-breakdown menjadi bagian-bagian untuk kemudian dianalisis, sehingga dapat dikontrol dan hasil akhirnya nanti dapat diprediksikan. Organisasi seperti ini sangat menekankan pada boundaries, penciptaan peran dan akuntabilitas, menspesifikkan garis wewenang dan tanggung jawab, menyebabkan organisasi menjadi terfragmentasi namun dapat memberi kesan sebagai organisai yang solid. Cara ini menyebabkan makin lama variabel dalam organisasi menjadi makin banyak. Ketika para ahli dan pengelola organisasi berbicara tentang organisasi sebagai suatu system, karena variabel-variabel yang makin banyak menjadikan organisasi makin complicated maka pengetahuan kognitif hanya sebatas wacana saja. Perilaku mereka masih menampakkan dominasi Cartesian/Newtonian worldview, dapat dilihat bagaimana cara mereka mendesain organisasi, yang masih menekankan pada sesuatu yang reduktionis – analitis. Kesadaran organisasi sebagai suatu system belum mengubah perilaku dalam pengelolaan organisasi. Kesadaran tentang system namun tetap memegang Cartesian/Newtonian worldview, akan menyulitkan pemahaman kita. Sepertinya paradigma yang kita pegang akan menimbulkan ketidakseimbangan psikologis karena ada keinginan memaksakan suatu keteraturan intelektual kepada sesuatu yang penuh dengan ketidakpastian.

Pergeseran Kearah New Paradigma.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang didasarkan pada Cartesian/Newtonian worldview pada akhirnya membawa fisika pada dunia quantum dalam usahanya mencari the ultimate matter as the building block of the universe. Quantum world ternyata tidak mengikuti hukum-hukum fisika Newtonian. Objektivitas sebagaimana dipersyaratkan dalam Cartesian/Newtonian worldview menjadi kabur. Pengamat dan yang diamati saling mempengaruhi, sehingga partikel apakah akan berperilaku seperti partikel massa, atau sebagai gelombang tergantung pada apa yang ingin diukur oleh peneliti. Capra, mengutip Heisenberg yang mengatakan “Apa yang kita amati bukanlah alam itu sendiri, tetapi alam yang diekspose ke dalam metode kita untuk mempertanyakannya” [ Capra, 1977]. Interaksi antara pengamat dan yang diamati itulah yang menghasilkan kesimpulan seperti dalam contoh SCHOEDINGER’S CAT. Sesuatu baru nyata dan memiliki makna apabila kita mengobservasinya seperti yang dikatakan oleh Neils Bohr “no phenomena is a real phenomena until it is observed”. Sebelum ada interaksi antara pengamat dan yang diamati, maka obyek hanya merupakan fungsi gelombang-gelombang kemungkinan. Dalam dunia quantum “what you see is what you get” [Wheatly, 1999, p.62]. Dunia quantum, maka network and pattern merupakan hal yang paling mendasar, bukan partikel. Partikel-partikel nampaknya dapat saling berkomunikasi satu sama lain, meskipun jaraknya sangat jauh – dalam dimensi partikel itu sendiri. Dunia quantum adalah dunia yang paradoxal, karena quanta dapat berfungsi sebagai partikel atau sebagai gelombang, bisa dibagi sekaligus tak dapat dibagi. Pada tingkat atom, materi memiliki aspek ganda, dapat muncul sebagai partikel-partikel sekaligus sebagai gelombang-gelombang tergantung pada pengamat dan alat ukur yang digunakan. Penemuan-penemuan dalam fisika quantum menyadarkan bahwa alam bukanlah sekumpulan obyek-obyek fisik yang terpisah satu sama lain, melainkan merupakan suatu network yang rumit dan akan membentuk pattern sebagai satu keseluruhan [Capra, 1977].

Kecanggihan tehnologi – yang didorong oleh Cartesian/Newtonian worldview – menghasilkan supercomputer yang dapat melakukan jutaan perhitungan dalam waktu yang singkat sangat membantu para ahli dalam mendapatkan fractal geometry. Mandelbrot –penemu fractal geometry- seperti dikutip oleh Capra mengatakan “fractal geometry is a language to speak of clouds, to describe and analyze the complexity of the irregular shapes in the natural world around us” [ Capra, 1996, p.138]. Fractal geometry ini merujuk pada self-similarity, pattern nested within pattern. Bentuk-bentuk fractal ini didapatkan dari persamaan matematis sederhana yang di-feedback-kan secara iterative pada hasil persamaan tersebut. [ See Capra, 1996, chp.4]. Bentuk fractal ini tidak hanya diketemukan pada benda-benda alam, tapi juga pada living system. 

Pada saat yang sama, maka biologi juga mengalami perkembangan dengan dikembangkannya konsep autopoeisis oleh Maturana dan Varela. Menurut Maturana dan Varela –dikutip oleh Capra [1996]- karakteristik utama dari living network adalah suatu sistem yang secara terus-menerus memproduksi dirinya sendiri. Autopoeisis or self-making is a network pattern in which the function of each component is to participate in the production and transformation of other components in the network. In this way, the network continually makes itself [Capra, 1986,p.162]. Dalam konsep ini maka Maturana dan Varela melihat perbedaan dalam hubungan statis antar komponen dan hubungan antar proses sebagai pembeda utama antara fenomena fisik dan fenomena biologis. Gambaran pattern of life sebagai autopoetic network menunjukkan suatu organizational closure, suatu sistem yang tertutup kecuali arus energi yang menghubungkannya dengan lingkungannya. Konsep ini digunakan untuk memahami proses perubahan dalam organisasi [see Morgan, 1986, Chp.8]. 

Ilya Prigogine dengan konsep dissipative structure yang menghasilkan hadiah Nobel bidang kimia, menunjukkan bahwa living system secara struktural terbuka, meskipun secara organisasional tertutup. [for discussion of dissipative structure, autopoeisis see Capra, 1996, Chp 7 – 9 ]. 

Emerging world view tertuang dalam apa yang dikenal sebagai chaos theory, complexity theory, Complex Adaptive System. Laura Fritzgerald [www.orgmind.com] mengatakan bahwa ada lima hal yang sangat penting dalam pemahaman tentang New Realities, yaitu :

Connectivity : Meskipun nampaknya dalam realitas berbagai faktor nampak berdiri sendiri-sendiri, namun dalam kenyatannya segala sesuatu itu “interconnected” Unit tidak punya arti kalau tidak berada dalam suatu context , yang berarti berada dalam suatu hubungan dengan yang lain, dalam suatu pola.

Inderteminacy : Chaos theory menekankan pada dynamic complexity , yang menyatakan semua faktor dan variabel selalu berada dalam suatu proses, bukan terpaku pada tempatnya. Konsep ini menolak adanya suatu determinisme, sehingga dalam konsep ini masa depan tak mungkin sepenuhnya diprediksikan, meskipun dapat diperkirakan [estimated guess].

Dissipation : Setiap sistem akan mengarah pada batas pertumbuhannya, yang disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa kondisi yang menyebabkan perkembangan berubah, karena kondisi-kondisi itu berada dalam dynamic complexity. Pada batas pertumbuhannya [bifurcation point/the edge of chaos] maka sistem itu akan mempunyai pilihan apakah akan mengarah ke sistem yang lebih kompleks [higher order/complexity] atau pada pilihan yang lain.

Emergence : Dalam suatu system yang kompleks, maka perilaku sistem sebagai satu merupakan emergent behaviour yang berbeda dengan pola perilaku bagiannya. Emergent behaviour ini selalu mengarah kepada higher order of complexity. Ada beberapa acuan dalam emergent behaviour ini yaitu :
  • Self replicating : bahwa suatu sistem memiliki kemampuan bertumbuh mengikuti suatu pola tertentu yang sudah ada dalam dirinya [pattern following process]. 
  • Self referencing : Suatu sistem memiliki kemampuan berkembang dengan mengacu pada dirinya sendiri [reference to a deeply embedded, implicit self knowledge all by themselves]. 
  • Self organizing : yang merupakan spontaneous emergence of order from disorder. Perilaku chaotic selalu mengarah kepada keteraturan dalam waktu yang singkat. Self organization dalam sistem sosial bersifat self-generated and self-guided. Sistem sosial akan melakukan self-organizes around the identity and beliefs created, shared, and internalized by the people in the organization. 
Consciousness : Substansi paling essensial dalam suatu sistem adalah kesadaran, bukan manifestasi fisiknya. Kesadaran atau pikiranlah yang menciptakan realitas, bukan materi. Materi tanpa adanya kesadaran tidak memiliki arti.

Tasaka [1999] meyakini bahwa complexity bukanlah suatu teori dalam artian konvensional, melainkan suatu paradigma, suatu cara baru untuk mengkonseptualisasikan pengetahuan dan realitas. Karenanya, complexity merupakan suatu shift dari cara berpikir lama ke cara berpikir yang “baru” . 

Implikasi Paradigma “Baru” dalam Organisasi dan Managemen
Setiap organisasi dirancang untuk mencapai tujuan tertentu dan berdasarkan suatu paradigma tertentu. Paradigma Cartessian/Newtonian menekankan pada predictability, keteraturan, determinisme yang pada akhirnya menempatkan fungsi kontrol sebagai fungsi managerial yang penting. Perencanaan tanpa kontrol managemen dalam paradigma lama merupakan hal yang muskil. 

Dalam paradigma baru, maka perencanaan yang dikenal sebagai strategic management dipertanyakan sejauh mana keefektifannya, mengingat perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada lingkungan organisasi. Perubahan lingkungan ini berdasarkan connectivity akan membawa pengaruh pada organisasi, yang dapat membuat detail-detail perencanaan menjadi tidak berlaku. Gangguan “kecil” pada lingkungan dapat menyebabkan perubahan besar dalam organisasi, demikian pula “gangguan-gangguan kecil” dalam organisasi dapat membawa akibat yang jauh, yang dikenal sebagai butterfly effect. Masa depan yang ada tidak dapat dipastikan dalam prediksi­-prediksi model Cartessian/Newtonian. Masalahnya dalam strategic planning para perencana menggunakan data masa lalu dan masa kini untuk diesktrapolasikan ke masa depan, yang kondisinya kemungkinan besar sangat berbeda dengan kondisi sekarang ataupun masa lalu organisasi. Sehingga paradigma baru akan lebih menekankan pada don’t predict the future, but create the future. Manager harus memberikan perhatian yang lebih besar untuk mendorong self organization bukan memanage dan mengontrol situasi, yang dikenal sebagai empowerment.

Penekanan pada emergent behavior, - pada perilaku keseluruhan yang berbeda dengan perilaku bagian - menghendaki analisa organisasi kedalam bagian-bagian atau fungsi tanpa melihat pola keseluruhan merupakan kesiasiaan. Diperlukan pola pemikiran yang lebih bersifat intuitif untuk dapat menangkap pola keluruhan [emergent behavior]. Diperlukan pemikiran yang lebih bersifat kontekstual organisatoris. Usaha untuk mengelola struktur dan system tanpa mengindahkan emergent behavior yang mengarah pada self organization dapat menghambat perkembangan organisasi. 

Sebagai suatu sistem sosial maka organisasi juga akan mengalami perkembangan. Dalam dissipative structure sebagai salah satu karakter living system, organisasi satu waktu harus menghadapi pilihan, berkembang kearah yang lebih kompleks [higher order] atau hilang. Kekacauan yang timbul ketika organisasi mendekati limit of growth biasanya ditanggapi dengan makin memperketat kontrol managerial. Kekacauan ini diperlukan untuk mendapatkan informasi baru, atau memberi arti baru bagi sesuatu yang selama ini dianggap ‘taken for granted”. Dengan informasi baru dimungkinkan pemberian makna yang baru, yang membuat organisasi mampu berkembang kearah yang lebih sesuai. 

Informasi dalam paradigma baru ini sangat memegang peranan penting, sebab informasi ini merupakan energi yang menggerakkan organisasi. Information sharing saja tidak cukup bagi organisasi, melainkan diperlukan juga information coherence yang akan menghindarkan kebingungan dan information overload. Koherensi informasi akan memperkuat identitas dan nilai-nilai organisasi dan membantu self-organization kearah yang lebih sesuai. Information coherence membantu terbentuknya nilai-nilai organisasi yang merupakan strange attractor bagi anggota organisasi. 

Daftar pustaka
Capra, Fritjof. 1996. The Web of Life : A new scientific understanding of living system. New York : Anchor Books paperback edition.

Capra, Fritjof, 1982. The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture.New York : Bantam Books, paperback edition.

Capra, Fritjof, 1977. The Tao of Physics : An Exploration of Parallels between Modern Physics and Eastern Mysticism. New York : Bantam books. Dialih bahasakan oleh Pipit Maizier. Penerbit Jalasutra , Yogyakarta.

Coleman, Henry J, Jr. 1998. What enables Self-Organizing Behavior in Businesses. Emergence, Vol 1, (1), pp 33-48.

Dent, Eric.B. 1999. Complexity Science : A world view shift. Emergence, Vol 1, (4), pp 5-19.

Fitzgerald, Laura S. Living in the edge of Chaos. www.orgmind.com.

Fitzgerald, Laura S. The Mind’s indisputable Primacy. www.orgmind.com

Fitzgerald, Laura S. Mastering the New Realities : Chaos, Complexity and Change that never stops. www.orgmind.com.

Fitzgerald, Laura S. Mindful Chaos. www.orgmind.com

Hammer, Michael.1995. The Reengineering revolution. New York, Harper Business.

Handy, Charles. 1981. Understanding Organization. 2ndEd. Harmondsworth : Penguins Books.

Handy, Charles, 1985. Gods of Management. Revised Edition. London : Pan Books.

Handy, Charles, 1989. The Age of Unreason. Harvard Bussiness School Press.

Handy, Charles, 1995. The Age of Paradox. Dialih bahasakan oleh Ir. Agus Maulana MSM. Jakarta : Binarupa Aksara.

Handy, Charles, 1996. Beyond Certainty. London : Random House.

Handy, Charles, 1999. Waiting for the Mountain to move : Reflections on Work & Life. San Francisco : Jossey- Bass.

Lissack, Michael, 1998. Complexity : The Science, its Vocabulary and its Relations to Organizations. Emergence, Vol 1, (1), pp 110-126.

Molderez, Ingrid. 1999. Freedom and Uncertainty. Emergence, Vol 1, (3), pp 84-91.

Morgan, Gareth.1986. Images of Organization. Beverly Hills, CA : Sage Publications.


Rand, Thomas,1999. Why Business Fail : An Organizational Perspective. Emergence, Vol 1, (4), pp 97-114


Tasaka, Hiroshi. 1999. Twenty first century Management and the Complexity Paradigm. Emergence, Vol 1, (4), pp 115-123.

Wheatley, Margaret J. 1999. Leadership and The New Science : Discovering order in a Chaotic World. Revised Edition. San Francisco : Berrett-Koehler.

Share :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar