Dampak Globalisasi Terhadap Umat Islam

Dampak Globalisasi Terhadap Umat Islam : Dewasa ini kemajuan sains dan teknologi telah mencapai perkembangan yang sangat pesat, termasuk di Negara kita Indonesia. Pembangunan di Negara kita juga telah mencapai kemajuan yang demikian pesat, terutama sejak bergulirnya era reformasi hingga saat ini. Karenanya, seiring dengan itu, marilah kita umat Islamsecara bersama-sama ikut ambil bagian dengan secara aktif, terutama dalam pembangunan mrntal spiritual, agar umat Islam tidak sekedar maju dalam segi fisik saja, namun juga kokoh mentalnya, tidak mudah terjebak dalam pemikiran yang merusak.

Dalam abad teknologi ultra moderen sekarang ini, manusia telah diruntuhkan eksistensinya sampai ketingkat mesin akibat pengaruh globalisasi. Roh dan kemuliaan manusia telah diremehkan begitu rendah. Manusia adalah mesin yang dikendalikan oleh kepentingan financial untuk menuruti arus hidup yang materialistis dan sekuler. Martabat manusia berangsur-angsur telah dihancurkan dan kedudukannya benar-benar telah direndahkan. Globalisasi adalah merupakan gerakan yang telah dan sedang dilakukan oleh Negara-negara Barat Sekuler untuk secara sadar atau tidak, akan menggiring kita pada kehancuran peradaban. 

Sebagaimana telah kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara langsung maupun melalui media cetak dan elektronik, mulai dari prilaku, gaya hidup, norma pergaulan dan tete kehidupan yang dipraktekkan, dipertontonkan dan dicontohkan oleh orang-orang Barat akhir-akhir ini semakin menjurus pada kemaksiatan. Apa yang mereka suguhkan sangat berpengaruh terhadap pola piker umat Islam. Tak sedikit dari orang-orang Islam yang secara perlahan-lahan menjadi lupa akan tujuan hidupnya, yang semestinya untuk ibadah, berbalik menjadi malas ibadah dan lupa akan Tuhan yang telah memberikannya kehidupan. Akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi banyak manusia khususnya umat Islam yang lupa bahwa sesungguhnya ia diciptakan bukanlah sekedar ada, namun ada tujuan mulia yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT.

Di zaman sekarang ini, tak sedikit dari umat Islam yang lemah iman, karena telah salah kaprah dalam menyikapi isu globalisasi. Mereka seakan-akan kedatangan tamu istimewa, tamu pujaan hati yang telah lama diagung-agungkan. Sehingga dalam bayangan mereka, globalisasi adalah segala-galanya dan merupakan puncak dari modernisasi. Padahal ia sesungguhnya adalah tipu daya dari bangsa Barat belaka yang sengaja menjerat dan akan menjerumuskan umat Islam. Sesungguhnya globalisasi tidak jauh beda dengan imprialisme. Penyebaran globalisasi hampir selalu sejalan dengan penyebaran Neoliberalisme.

Globalisasi dengan konotasi itu merupakan penghambaan dan penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia agar tunduk pada prinsip-prinsip barat yang rusak dan menyesatkan. Globakisasi merupakan program yang bertujuan untuk mendayagunakan teknologi sebagai alat untuk mengokohkan kedudukan kepentingan Negara adidaya, memperbudak bangsa-bangsa lemah, menyedot sumber daya alamnya, meneror rakyatnya, manghambat perjalanannya, memadamkan kekuatannya, menghapus identitasnya dan mengubur keasliannya, reformasinya serta pembangunan peradabannya. Dengan kata lain globalisasi merupakan gurita yang menelikung dan mencekik leher dunia Islam.

Sasaran yang dikumandangkan globalisasi adalah menghilangkan jarak dan batas, serta perbedaan antara umat manusia yang berbeda-berbeda agar didomonasi kapitalisme yang tanpa batas, dikuasai informasi tanpa pengawasan. Dengan globalisasi semua keyakinan, pendapat dan pemikiran berbaur dan melebur sehingga yang tersisa hanyalah pemikiran materialisme Barat yang turanik. Lebih tegas lagi bahwa globalisasi menginginkan agar setiap elmen dunia khususnya umat Islam melepaskan keperibadiannya, keyakinannya, prinsip-prinsipnya untuk kemudian mengikuti pemikiran Barat dalam semua pola kehidupan.

Melihat strategi yang dicanangkan Barat dalam isu globalisasi di atas sungguh amat busuk. Mereka mempunya agenda terselubung dalam mengikis habis ajaran Islam yang dianut bangsa timur. Penyebaran itu mereka lakukan melalui penyebaran informasi dengan sistem teknologi moderennya yang dapat mengirim informasi keseluruh penjuru dunia. Melalui jalur ini mereka menguasai public opini yang tidak jarang berisi serangan, hinaan, pelecehan dan hujatan terhadap Islam dan mengesankan agama Islam sebagai teroris. Perang yang mereka lancarkan bukan hanya perang senjata namun juga perang agama. Mereka berusaha meracuni dan menodai kesucian Islam lewat idiologi sekuler, politik, ekonomi, sosbud, teknologi, komunikasi, keamanan dan sebagainya. Dengan berbagai cara mereka berusaha menjauhkan umat Islam dari agamanya. Secara perlahan-lahan tapi pasti mereka menggerogoti Islam dari dalam dan tujuan akhirnya adalah melenyapkan Islam dari muka bumi.

Globalisasi bagi umat Islam tidak perlu diributkan, diterima ataupun ditolak, namun yang paling penting Dari semua adalah seberapa besar peran Islam dalam menata umat manusia menuju tatanan duniabaru yang lebih majudan beradab. Bagi kita semua, ada atau tidaknya istilah globalisasi tidak menjadi masalah, yang penting ajaran Islam sudah benar-benar diterima secara global, secara mendunia oleh segenap umat manusia, diterapkan dalam kehidupan masing-masing pribadi, dalam berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sebagai umat Islam hendaknya nilai moderen jangan kita ukur dari moderennya pakaiannya, perhiasan dan penampilan, namun moderen bagi umat Islam adalah moderen dari segi pemikiran, tingkah laku, pergaulan, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, social budaya, politik dan keamanan yang dijiwai akhlakul karimah, dan disertai terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dalam naungan ridha Allah SWT.

Untuk itu kita sebagai generasi Islam tidak boleh lengah dalam menghadapi maslah modernisasi dan globalisasi ini. Mari kita membentengi diri dan keluarga kita dengan keimanan dan ketaqwaan serta akhlakul karimah yang disertai dengan sumber daya yang kuat, terampil dan didukung oleh semangat persatuan kebersamaan. Insya Allah kita akan diberikan kekuatan dan kemenangan oleh Allah SWT dalam membela dan mempertahankan kejayaan agamanya yang suci ini.

Selengkapnya

Sejarah dan Perkembangan Bank Syariah

Sejarah dan Perkembangan Bank Syariah : Alam historisnya di Indonesia, perbankan syariah lahir dari rahim MUI yang secara formal ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991. BMI sebagai bank syariah pertama boleh dikatakan sebagai anak emas dari hasil kerja keras Tim Perbankan, yang dibentuk MUI. Selanjutnya, bank syariah semakin lama mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat hingga sekarang.

Embrio Bank syari’ah di Indonesia tidak lepas dari perkembangan Bank perkreditan syari’ah (BPRS) yang diperkenalkan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada tahun 1977 dengan istilah bank perkreditan rakyat (BPR) untuk menggulirkan kredit pedesaan bagi pembinaan lumbung desa, bank pasar, bank pegawai dan bank jenis lainnya. Peranan BPR sangat strategis untuk menyediakan dana pinjaman dalam skala kecil (kredit mikro) dan melindungi masyrakat dari praktik rentenir yang merugikan rakyat kecil. Sehingga peranan BPR sangat berarti dalam proses pembangunnan (agent of development) untuk mewujudkan pemerataan pembangunan terutama berfungsi untuk pemerataan fungsi pelayanan perbankan bagi masyrakat. 

SISTEM ekonomi syariah semakin hari perkembangannya semakin dikenal di masyarakat. Tak hanya untuk kalangan Islam semata, tetapi juga bagi mereka yang non muslim. Ini ditandai dengan makin banyaknya nasabah-nasabah pada bank yang menerapkan konsep syariah. Melihat perkembangan itu, tidak tertutup kemungkinan pada masa mendatang seluruh aspek perekonomian akan berbasiskan syariah. Ini menunjukkan nilai-nilai Islam dapat diterima di berbagai kalangan karena sifatnya yang universal, tidak eksklusif dan tentu saja memiliki output yang kompetitif dengan perbankan konvensional. Kini pun telah hadir pegadaian syariah, pembiayaan syariah, asuransi syariah dan produk-produk keuangan lainnya. Satu persamaan antara bank syariah dan bank konvensional adalah kedua-duanya berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Tentu saja dengan tujuan tersebut, bank syariah dituntut untuk berkembang dan menjadi lembaga finansial yang bonafid dan profesional.

Artinya, bank syariah dalam menajemen investasi dan finansial juga dituntut untuk menggunakan asas profit oriented sebagaimana bank konvensional. Maka bank syariah bukan sekedar menggunakan jalur emosional keagamaan untuk menjaring nasabahnya. Itulah salah satu persamaan yang bisa dijadikan referensi dan motivasi dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan perbankan syariah. Di sisi lain, Bank Syariah juga mempunyai tugas dan kewajiban yang harus diembannya, yaitu menjalankan pertumbuhan ekonomi berdasarkan ketentuan syariah, dimana usaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya itu harus didasarkan pada pedoman yang telah ditetapkan syariah, disinilah letak simpul perbedaannya.

Dewasa ini semakin banyak bermunculan bank-bank yang menggunakan sistem syariah. Bahkan tak sedikit bank-bank syariah yang merupakan konversi dari bank-bank konvesional mapan yang mencoba sebuah alternative lain untuk menggaet nasabah sebanyak-banyaknya. Ada sejumlah alasan mengapa perbankan konvensional yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, di antaranya adalah pasar potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragam Islam dan dengan semakin tumbuhnya kesadaran mereka untuk berperilaku secara Islami termasuk didalamnya yaitu aspek muamalah atau bisnis. Ini diperkuat dengan keluarnya fatwa MUI tentang haramnya bunga bank. Sehingga nasabah muslim dengan kesadarannya mencari alternatif yang sesuai dengan keyakinan mereka.

Alasan kedua, yaitu sistem bagi hasil terbukti lebih menguntungkan dan tangguh dalam menghadapi goncangan krisis moneter. Belajar dari pengalaman ketika krisis moneter melanda Indonesia pada 1997, sejumlah bank konvensional goncang dan akhirnya dilikuidasi karena mengalami negative spread, yang akhirnya tidak mampu menunaikan kewajibannya kepada masyarakat.

Kebijakan bunga tinggi yang diterapkan pemerintah selama krisis berlangsung telah membuat bank-bank Konvensional (dengan sistem bunga) mengalami bunga negatif (negative spread) , Akibatnya dalam masa satu tahun saja, 64 bank terlikuidasi dan 45 lainnya bermasalah yang masuk dalam Bank Beku Operasi (BBO) yang berada di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional(BPPN). 

Hal ini terjadi karena bank harus membayar bunga simpanan nasabah yang jauh lebih tinggi dari pada bunga kredit yang diterimanya dari debitur. Kondisi tersebut tidak berpengaruh sama sekali terhadap perbankan syariah (yang memakai sistem bagi hasil). Hal ini terjadi disebabkan bank syariah tidak dibebani kewajiban untuk membayar bunga simpanan kepada para nasabahnya

.Bank syariah hanya membayar bagi hasil kepada nasabahnya sesuai dengan margin keuntungan yang diperoleh bank, dengan sistem ini bank syariah tidak akan mengalami negative spread sebagaimana dialami oleh perbankan konvensional yang memakai sistem bunga. Bisa jadi hal inilah yang menjadi pemieu suburnya perbankan syariah di Negara-negara yang berpenduduk muslimnya minoritas. Sebagai contoh, 60 persen nasabah Bank Islam di Singapura adalah non muslim. Kalangan perbankan di Eropa pun sudah melirik potensi perbankan syariah. BNP Paribas SA, bank terbesar di Peraneis telah membuka layanan Syariahnya, yang diikuti oleh UBS group, sebuah kelompok perbankan terbesar di Eropa yang berbasis di Swiss, telah mendirikan anak perusahaan yang diberi nama Noriba Bank yang juga beroperasi penuh dengan sistem syariah. 

Demikian halnya dengan HSBC dan Chase Manhattan Bank yang juga membuka window Syariah. Bahkan kini di Inggris, tengah dikembangkan konsep pembiayaan real estate dengan skema Syariah. Ini semua membuktikan bahwa konsep ekonomi Islam diminati oleh semua kalangan lintas keyakinan. Jelas ini sebuah peluang bisnis dan investasi yang menggoda. 

Masih adanya bank-bank syariah yang berbau kapitalis tentu harus menjadi perhatian semua pihak, artinya bank hanya memberikan bantuan kepada pemilik usaha besar saja, sedangkan pemilik usaha menengah ke bawah tidak mendapat bantuan sama sekali atau kecil kemungkinan mendapat hak yang sama dengan pemilik usaha bermodal besar.Padahal keadilan juga merupakan bagian dari syariatIslam.Kemudian mengoperasionalisasikan secara konsisten filosofi dasar bank syariah yang berbeda dengan filosofi dasar bank konvensional. Bahwa muarnalah atau bisnis yang dilakukan adalah dalam rangka ibadah untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Maka setiap bankir ataupun mereka yang terlibat dalarn menggiatkan perbankan syariah sudah seharusnya menggunakan kacarnata Islam dalam memandang kehidupan, tak hanya dalarn satu aspek saja. Sehingga pelaksanaan syariat Islarn tidak terkesan parsial atau pragmatis.

Peluang Perbankan Syariah
Perbankan syariah, sesungguhnya memiliki peluang yang besar untuk terus berkembang. Gubernur BI, Burhanuddin Abdulah (2005) menegaskan, 'prospek perbankan syariah di masa depan, diperkirakan akan semakin cerah.' Menarik untuk dicatat, Bank Indonesia telah merevisi proyeksi pertumbuhan aset dan jaringan kantor bank syariah. Pada tahun 2011 diperkirakan aset bank syariah mencapai Rp 171 triliun dengan share bank syariah sekitar 9,10 persen dari total bank di Indonesia (BI, 2005) dengan jumlah kantor cabang diperkirakan mencapai 817 buah. Untuk tahun 2005, menurut Ketua DSN, KH. Ma'ruf Amin (2005) akan ada tiga bank asing dan 14 BPD yang membuka layanan syariah.

Peluang yang besar dan terbuka lebar bagi perbankan syariah di Indonesia, merupakan sesuatu yang wajar. Setidaknya ada sejumlah argumentasi untuk menguatkan pendapat ini. Pertama, mayoritas penduduk Islam. Kuantitas ini, merupakan pangsa pasar yang begitu potensial. Ketika umat Islam mau memanfaatkan maka bank syariah akan berkembang lebih pesat dan dahsyat. Akan tetapi, bukan berarti menafikan pelanggan non-muslim, bahkan menjadi tantangan tersendiri bagi insan perbankan syariah untuk meraihnya. Beberapa perbankan syariah luar negeri, sudah banyak memiliki customer non-muslim. Kedua, fatwa bunga bank. Fatwa ini, dapat menjadi legitimasi bagi perbankan syariah dalam mensosialisasikan kiprahnya. Umat perlu disadarkan bahwa ada alternatif pilihan, bahkan solusi untuk menghindari bunga, berganti sistem bagi hasil (profit sharing) yang lebih berkeadilan. Walaupun tidak lantas terjebak dengan sentimen emosional keagamaan tapi tetap mengedepankan rasional profesional dengan tampilnya bank syariah yang sehat dan terpercaya. Ketiga, menggeliatnya kesadaran beragama. Hal ini ditandai dengan maraknya acara keagamaan seperti pengajian dan umroh para eksekutif dan selebritis, diskusi aktual keislaman di kampus atau masjid, termasuk kuliah subuh di radio dan televisi. Bahkan ada majelis atau instansi mengadakan acara keagamaan secara rutin. Tentunya, semua ini memberi andil cukup besar dalam menggugah kesadaran beragama, termasuk untuk menerapkan perekonomian Islam. Keempat, menjalarnya penerapan ekonomi Islam. Saat ini, hadir asuransi syariah (takaful), pegadaian syariah, MLM syariah (ahad net), koperasi syariah, pasar modal dan obligasi syariah termasuk bisnis hotel syariah. Pada gilirannya, memberi peluang begitu lebar bagi bank syariah untuk melakukan net working, sehingga akan lebih berkembang dan bisa saling menguntungkan. Kelima, berkembangnya lembaga keislaman. Kehadiran partai Islam pasca reformasi, setidaknya berpengaruh terhadap iklim kehidupan nasional. Terutama ketika politisi muslim tampil sebagai pembuat kebijakan (law maker). Diharapkan kebijakannya sesuai syariah dan mendukung penuh pada kemajuan bank syariah. Berdirinya sekolah tinggi ekonomi Islam atau sejumlah perguruan tinggi yang membuka jurusan ekonomi Islam, serta maraknya sekolah Islam unggulan merupakan saham berharga untuk mencetak kader-kader ekonom dan bankir Islam.

Tantangan Masa Depan
Di samping memanfaatkan peluang, perbankan syariah juga dituntut menghadapi berbagai tantangan, yang semakin kompleks. Seperti yang telah dipaparkan, usia perbankan syariah di Indonesia masih relatif muda, laksana 'sosok' remaja yang masih mencari 'jati diri'. Tantangan yang dihadapinya pun tidaklah ringan dan mudah. Kalamuddinsjah (2005), Regional Manager BMI Jateng/DIY, mengibaratkan membangun perbankan syariah seperti membangun jaringan transportasi kereta api yang harus dimulai dari membuat rel. Mengapa? Oleh karena menciptakan satu landasan ekonomi syariah, harus dimulai dari nol. Berbeda dengan bank nasional yang telah mapan serta dukungan penuh dari pemerintah.

Pendapat Kalamuddinsjah ini, memberi gambaran, betapa tantangan yang dihadapi bank syariah di Indonesia masih cukup berat. Secara umum, tantangan berat yang harus dipecahkan itu adalah bagaimana menjadikan industri keuangan syariah yang mapan (established), yakni perbankan syariah yang profesional, sehat dan terpercaya. Apabila diklasifikasikan, berbagai tantangan tersebut ada yang berasal dari dalam (internal), dan ada yang datang dari luar (eksternal). Tantangan dari dalam adalah sejumlah tantangan yang harus dipecahkan, berasal dari ' diri ' bank syariah sendiri. Sejumlah tantangan itu meliputi,
1. pengembangan kelembagaan. Sampai saat ini, kelembagaan perbankan syariah belum sepenuhnya mapan. Beberapa hal masih perlu dibenahi, terutama dalam manajemen, tugas dan wewenang, peraturan, dan struktur keorganisasian. Hubungan antara bank konvensional dengan unit syariahnya (subsystem) perlu diperjelas, agar sinergis. Dual banking system yang selama ini dijalankan perlu disempunakan, terutama karena belum adanya Deputi Gubernur khusus syariah. Bahkan ke depan perlu dipikirkan adanya BCS (Bank Sentral Syariah).

2. sosialisasi dan promosi. Di lapangan, cukup banyak masyarakat yang belum memahami secara utuh 'sosok' bank syariah. Meminjam istilah Adiwarman A. Karim, setidaknya ada 3 kategori nasabah, yakni loyalis syariah, loyalis konvensional dan pasar mengambang (floating market). Potensi pasar mengambang mencapai Rp 720 triliun. Persoalan pada pasar mengambang adalah ada yang sudah tahu tapi belum paham, sudah paham tapi belum percaya, sudah percaya tapi belum sepenuhnya berpartisipasi. Proses sosialisasi perlu dilakukan secara continue. Promosi yang gencar dan menarik dengan memanfaatkan berbagai media, baik media bellow the line (event-event, seminar, brochure, spanduk, umbul-umbul) maupun media above the line (televisi, radio, koran, majalah). Promosi via televisi nampaknya masih jarang. Padahal promosi lewat media ini cukup efektif untuk pembentukan branch image dan branch awareness. Yang perlu digarisbawahi bahwa, sosialisasi dan promosi itu harus mampu membentuk image dan dapat mengubah pilihan pasar mengambang pada bank syariah

3. perluasan jaringan kantor. Indonesia memiliki wilayah yang amat luas. Akan tetapi jumlah kantor syariah yang beroperasi hingga ke pelosok masih kurang. Rizqullah, praktisi BNI Syariah (Republika, 2005) mengakui, ' salah satu kendala pertumbuhan bank syariah adalah masih terbatasnya jaringan.' Tantangan ini barangkali dapat dipecahkan dengan cara mensupport pemerintah mendirikan bank syariah, optimalisasi outlet pada setiap bank konvensional dan bank asing atau menggolkan konversi bank BUMN besar menjadi bank syariah.

4. peningkatan SDM. Harus diakui secara jujur, bahwa sumber daya insani perbankan syariah yang profesional, amanah, dan berkualitas belum sepenuhnya tersedia. Insan perbankan yang berkualifikasi syariah handal masih jarang. Nampaknya, sebagian besar SDM terutama level menengah ke atas masih hasil didikan ekonomi konvensional. Padahal, yang dibutuhkan bukan hanya menguasai ekonomi/perbankan modern, tetapi sekaligus paham fiqih (syariah) serta mampu berinovasi dalam menyelesaikan 'pernak-penik' persoalan bank syariah yang sistemnya masih baru. Training, workshop, seminar, studi banding, serta berbagai pembinaan lain untuk meningkatkan kompetensi SDM harus mendapat perhatian serius.

5. Peningkatan modal. Tantangan ini masih dirasakan oleh bank syariah di Indonesia. Ungkapan Ma'ruf Amin (2005) perlu direnungkan, ' jika bank-bank syariah berandai melakukan suatu sindikasi dalam mendanai proyek besar, masih belum mampu.' Pernyataan seperti ini sungguh ironis, tetapi itulah kenyataannya. Para stake holder (pemegang saham) bank syariah perlu menambah modalnya, sehingga risk taking capacity-nya meningkat. Besar kecilnya kemampuan pembiayaan bank-bank syariah, amat tergantung pada kemampuan modalnya. Perlu juga nampaknya mendesak pemerintah untuk menempatkan dana besar pada bank syariah.

6. peningkatan pelayanan. Perbankan syariah perlu terus meningkatkan kualitas pelayanannya. Prinsip pelayanan yang ramah, mudah, cepat dan murah harus menjadi trade mark bank syariah. Ramah dalam melayani, mudah dan cepat dalam proses, serta murah dalam biaya (administrasi). Begitu pula upaya mempermudah akses informasi dan pengambilan uang atau tabungan harus ditingkatkan. Pemanfaatan online internet dan ketersedian fasilitas ATM di berbagai lokasi strategis dan mudah terjangkau, merupakan keniscayaan. Ketujuh, pembinaan dan pengawasan. Dalam operasionalnya di lapangan, bank syariah harus terus dibina dan sekaligus diawasi. Dibina untuk lebih berkembang, diawasi agar tidak timbul penyimpangan. Pengawasan pada bank syariah di daerah, termasuk pada bank konvensional yang membuka syariah perlu dilakukan dengan ketat dan hati-hati. Jangan muncul kesan formalitas identitas syariah, praktek dan sistemnya tidak berbeda dengan konvensional.

Sejumlah tantangan di atas, merupakan tantangan dari dalam (internal). Usaha perbankan merupakan industri yang menjual kepercayaan. Berbagai tantangan internal itu perlu dipecahkan, sehingga masyarakat lebih percaya dan mau berpartisipasi aktif. Selanjutnya ada juga tantangan yang datang dari luar dan tidak kalah penting untuk diselesaikan.

Kesatu, belum memadainya kerangka hukum. Tantangan ini bersifat mendesak, karena akan menghambat upaya pengembangan bank syariah. RUU perbankan syariah yang tengah digodok perlu diperjuangkan untuk segera diundangkan. Aturan tentang pasar modal syariah, surat utang negara syariah, obligasi syariah serta aturan lain sangat penting. Intinya, semua aturan yang akan memberikan ruang gerak lebih luas bagi pelaku bisnis syariah.

Kedua, dukungan pemerintah belum penuh. Pemerintah mendukung keberadaan perbankan syariah, tetapi dalam tataran kebijakan (political will) dan keseriusan (good will) belum optimal. Para menteri, gubernur, bupati belum memberi tempat yang layak. Di BI (bank Indonesia) belum ada Deputi Gubernur khusus syariah. Selayaknya, Dewan Syariah Nasional dan bankir syariah melakukan lobi-lobi dan pendekatan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar dukungan konkret dan nyata pada perbankan syariah dapat terealisasikan.

Ketiga, sinisme masyarakat. Tidak terelakkan, masih ada masyarakat yang memandang dengan senyum sinis. Terjadi mis-persepsi, seolah bank syariah itu eklusif (untuk umat Islam), sistem bagi hasil kurang menguntungkan dan susah prosesnya. Bank syariah perlu mempromosikan dirinya secara simpatik dan memikat. Berusaha mengubah mindset mereka dan yang penting mampu menampilkan sosok bank syariah yang profesional, berkualitas dan menguntungkan.

Tantangan dari luar bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi. Berbagai tantangan diharapkan akan memotivasi setiap insan perbankan syariah untuk terus belajar dan berkarya.

Selengkapnya

API Dalam Tungku Perekonomian Indonesia

API Dalam Tungku Perekonomian Indonesia : Industri perbankan merupakan industri yang memiliki peran sentral sebagai tulang punggung perekonomian di Indonesia. Secara historis, pertumbuhan perekonomian di Indonesia masih sangat tergantung kepada industri perbankan sebagai sumber pembiayaannya sehingga dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia berbentuk Bank-based Economy. Eksistensi perbankan yang sentral tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi perekonomian secara makro. Berdasarkan paradigma tersebut maka Bank Indonesia mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai sebuah instrumen guide-line yang terstruktur dalam membangun fundamental perbankan yang sehat dan kuat.

Tantangan Perbankan Nasional Ke Depan
Kondisi lemahnya fundamental perbankan yang mengakibatkan terpuruknya perekonomian nasional dapat ditunjukkan oleh perekonomian Indonesia saat mengalami krisis keuangan pada tahun 1997 – 1998. Bukti empiris pada saat itu menunjukkan tuntutan terhadap sehat dan kuatnya industri perbankan nasional dalam mendukung keberhasilan kebijakan makro dalam perekonomian nasional. Peristiwa tersebut menggugah para analis ekonomi bahwa sehat dan kuatnya sektor perbankan bukanlah “taken from granted” dari tersedianya sistim perekonomian nasional. Kondisi tersebut menguatkan posisi peran perbankan yang sehat terhadap fundamental perekonomian nasional.

Paradigma pembangunan yang baru mengenai posisis sentral perbankan yang sehat dan kuat dalam perekonomian nasional sebenarnya merupakan suatu kajian yang sering dikupas dalam beberapa penelitian International Monetary Fund (IMF) sebelum krisis moneter di Asia berkecamuk. Kajian taktis ini terlihat dari formulasi tentang “empat prinsip” yang harus dipegang oleh setiap perekonomian guna tumbuhnya perbankan yang sehat. Prinsip-prinsip itu meliputi: pertama, kesehatan suatu bank pada hakikatnya adalah tanggung jawab pemilik dan pengelola bank sedangkan kesehatan sistim perbankan merupakan perhatian kebijakan publik. Kedua, kesehatan perbankan terkait erat dengan efektivitas kebijakan ekonomi makro. Ketiga, suatu kerangka perbankan yang sehat harus menyangkut struktur yang mendukung disiplin sistim kerja baik disiplin internal bank, disiplin pasar maupun pengaturan dan supervisi perbankan. Keempat, kerjasama dan koordinansi internansional dapat memainkan peran yang penting dalam memperkuat sistim keuangan dunia maupun perbankan nasional.

Berdasarkan ke-empat prinsip tersebut di atas, sektor perbankan sebagai aktualisasi ekonomi mikro menjadi konduktor bagi arus ekonomi secara makro. Konsekuensi logisnya adalah eksistensi perbankan harus sehat dan kuat. Adapun kondisi perbankan yang sehat dalam hal ini adalah menyangkut: permodalan, manajemen dan kegiatan (sesuai dengan peraturan dan pengawasan perbankan yang berlaku), pengaturan dan pengawasan yang efektif oleh lembaga independen, adanya kelembagaan yang mendukung perbankan selain lembaga pengawas, serta adanya kerjasama maupun koordinasi dengan organisasi perbankan internasional lainnya. Beberapa kondisi ideal perbankan yang sehat tersebut mengindikasikan bahwasannya perbankan yang sehat, bukan hanya dalam konteks manajemen (mikro) tetapi juga termasuk pengawasan dan pengaturan bank serta kelembagaan penunjangnya. Kelembagaan tersebut tidak hanya dalam lingkup dalam negeri, tetapi juga diharapkan mampu untuk menembus pasar luar negeri serta mampu berjalan secara efektif. Dengan kata lain, kondisi perbankan yang sehat dan kuat secara mikro dan makro dapat dijadikan sasaran kebijakan moneter guna mempertahankan kestabilan moneter. Bahkan, kondisi tersebut dapat diekspansi untuk mengelola ekonomi makro dalam konteks pemicu pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja sebagai wujud riil pembangunan ekonomi modern.

API Sebagai Aksi Preventif
Berdasarkan beberapa tantangan perbankan nasional yang sehat dan eksistensi perbankan yang penting dalam perekonomian Indonesia yang berbentuk Bank-based Economy, maka perekonomian kita memerlukan perbankan dengan laju pertumbuhan kredit yang tinggi agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula. Oleh karena itu, pemerintah melalui otoritas moneternya memerlukan sebuah sistim perbankan yang memiliki proses yang terstruktur, jelas, terukur, dan dapat dicapai. Kebijakan perbankan yang diambil diharapkan tidak lagi hanya terbatas pada pemberian bantuan likuiditas seperti halnya BLBI yang pernah dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor perbankan dapat dikatakan solvable bila memiliki penguatan modal yang dapat dilakukan melalui program rekapitulasi. Selain masalah solvability tersebut, perbankan juga harus melakukan restrukturisasi dalam kegiatan operasionalnya (Operational Restructuring) sehingga dapat mencapai economic of scale yang lebih baik agar mendapatkan profit yang lebih besar lagi.


Pemenuhan solvabilitas perbankan secara otomatis akan menuntut penyaluran kredit yang tepat sasaran guna memenuhi peran perbankan sebagai lembaga perantara keuangan dalam sistim perekonomian. Akan tetapi, pertentangan tuntutan kepentingan dari sektor perbankan sendiri berbeda dengan kepentingan sektor riil. Secara historis, pemberian suku bunga yang tinggi untuk mempertahankan nilai tukar dan mendorong kegiatan ekonomi justru malah menghambat proses restrukturisasi perbankan seperti yang terjadi saat awal krisis moneter di Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor riil yang menuntut pemberian suku bunga pinjaman perbankan yang rendah dengan penyediaan kredit yang meningkat. Pada posisi seperti ini, sektor perbankan mengalami masalah yang dilematis untuk mencapai keseimbangan antara mendorong kesehatan perbankan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan perbankan untuk mengatasi permasalahan dilematis sektor perbankan seringkali dilandasi oleh kekeliruan paradigma dan juga pertimbangan politis. Keputusan tersebut justru akhirnya mengakibatkan permasalahan tersebut semakin ruwet dan sulit diuraikan pokok permasalahannya. Padahal, restrukturisasi perbankan yang sehat juga memerlukan perbaikan pengaturan dan pengawasan perbankan, perbaikan kelembagaan pendukung, perbaikan hukum dan peradilan, Good Governance maupun aspek transparansi dalam kebijakan publik terkait dengan perbankan nasional dan juga perekonomian nasional.

Beberapa acuan standar kesehatan perbankan mengarah pada standar-standar penilaian yang tercantum dalam Financial Sector Assessment Program (FSAP) yang dibentuk oleh International Monetary Fund (IMF) dan juga dalam Core Principles for Effective Banking Supervision yang dibentuk oleh Basel Committee yang lebih dikenal dengan The 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision maupun amandemen baru yang dinkenal dengan nama Basel Accord II. Standar-standar tersebut sebenarnya lebih ditekankan pada peningkatan pengaturan dan pengawasan perbankan. Adapun beberapa fokus tersebut meliputi: pertama, pentingnya sistim klasifikasi kredit dan ketentuan tentang penyisihan cadangan (provisioning) dalam pengawasan bank. Pengalaman krisis menunjukkan bahwa bank-bank yang memenuhi ketentuan permodalan standar internansionalpun dapat mengalami masalah likuiditas dan solvabilitas. Beberapa studi setelah krisis menunjukkan bahwa masalah likuiditas dan solvabilitas terjadi karena permodalan bank ternyata dinilai terlalu tinggi. Selain itu, masalah tersebut juga disebabkan karena kurang ketatnya monitoring terhadap besarnya kredit bermasalah dan macet (Non Performing Loans) sehingga konsekuensi logis yang menjadi implikasinya adalah penyisihan cadangannya tidak mencukupi untuk pengembangan permodalannya. Kedua, bentuk kredit dalam mata uang asing merupakan relevansi yang rawan antara gejolak nilai tukar dan kelemahan sektor keuangan. Pengalaman krisis menunjukkan bahwa pinjaman dalam valas kepada nasabah domestik oleh perbankan nasional dapat menggoyahkan kestabilan industri perbankan. Hal ini karena lemahnya monitoring dan pengendalian kredit dalam valas tersebut. Ketiga, pengelolaan risiko illiquidity bank. Fokus ini lebih dikarenakan operasi bank yang pada dasarnya berkaitan dengan transformasi saat jatuh tempo (maturity transformation) dari kewajiban jangka pendek bank (deposito) menjadi aset yang berjangka panjang (kredit). Aspek ketiga ini bisa dikatakan mengarah kepada manajemen likuiditas sehingga aspek ini sangat vital bagi bank development. Bahkan hal ini dan kegiatan bank yang dasarnya kepercayaan masyarakat dengan kondisi informasi yang tidak simetris antara bank dan nasabah sebenarnya yang menjadi dasar legitimasi pengaturan dan pengawasan terhadap operasi bank oleh otoritas pengaturan dan pengawasan bank sehingga secara tidak langsung juga dapat berfungsi untuk melindungi konsumen. Keempat, perlu adanya kerangka dasar pengaturan tentang kebijakan likuiditas menghadapi kondisi distress bank, baik secara individu maupun sistemik. Ini berkaitan dengan fungsi bank sentral sebagai Lender of The Last Resort (Penyedia Likuiditas Terakhir). Mengingat kontroversi yang berkepanjangan dengan segala implikasinya dari masalah BLBI ketentuan mengenai hal ini sangat penting untuk masa depan.

Kondisi-kondisi tersebut merupakan masalah-masalah pokok yang seringkali menghambat proses-proses penyehatan perbankan di Indonesia selama ini. Oleh karena itu Bank Indonesia mencoba meminimalisir hambatan-hambatan tersebut dengan mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dilaksanakan secara terstruktur, bertahap, jelas dan terukur. Keberadaan API sebagai suatu guide-line perbankan nasional diharapkan mampu mengantisipasi segala masalah yang mungkin muncul sebagai akibat dari system-error secara mikro maupun makro. Upaya preventif ini menimbulkan pro dan kontra yang membangun setiap pilar-pilar yang digunakan dalam API sehingga diharapkan dapat mencapai penerjemahan yang lebih lengkap agar lebih aplikatif serta berguna baik bagi sektor perbankan maupun perekonomian nasional.

Enam Pilar API
Berdasarkan fenomena tuntutan perbankan dan beberapa pengalaman historis yang melatarbelakangi perjalan perbankan nasional maka Bank Indonesia mencoba membangun pondasi perbankan nasional yang kokoh, kuat dan sehat. Sistim perbankan yang sehat dibagun berdasarkan permodalan yang kuat sehingga dapat mendorong kepercayaan nasabah, yang selanjutnya akan mampu memberikan kekuatan bagi bank untuk memperkuat modalnya melalui pemupukan laba ditahan. API sendiri menghendaki pada 10 sampai 15 tahun ke depan, perbankan Indonesia memiliki 2 sampai 3 bank dengan skala Bank Internasional, 3 sampai 5 Bank Nasional, 30 sampai 50 Bank dengan kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu dan BPR serta bank dengan kegiatan usaha terbatas. 

Guna mendukung terciptanya visi-visi API tersebut, maka Bank Indonesia mencoba mengaplikasikannya melalui sebuah Guide-line yang berwujud enam pilar API. Adapun ke-enam pilar tersebut antara lain adalah: Pilar Pertama, Struktur perbankan yang sehat. Salah satu cara membangun pilar pertama ini yaitu dengan memperkuat permodalan bank-bank. Bank-bank umum (konvensional dan syariah). Artinya, bank-bank yang memiliki permodalan dibawah 100 miliar Rupiah harus ditingkatkan sehingga permodalan bagi industri perbankan harus minimum 100 miliar Rupiah. Modal minimum 100 miliar Rupiah tersebut merupakan kebutuhan minimum bagi suatu bank untuk dapat menjalankan usahanya dengan baik. Dengan modal dibawah 100 miliar Rupiah sangat sulit bagi bank untuk mendukung pertumbuhan kredit yang tinggi karena modalnya terbatas. Selain itu, dengan modal yang kecil dirasakan cukup sulit bagi suatu bank untuk meningkatkan skala usaha maupun skill level yang dimiliki serta mengatasi risko-risiko yang dihadapi. 


Diharapkan, pada tahun 2011 nanti semua bank umum yang beroperasi di Indonesia telah memiliki modal minimum sebesar 100 miliar Rupiah. Disamping memperkuat permodalan, struktur perbankan yang kuat juga dibangun dengan meningkatkan peran serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam peta perbankan nasional. Hal ini dikarenakan BPR yang kuat dan kokoh dianggap mampu untuk melayani lapisan masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil khususnya yang tidak terjamah oleh pelayanan bank-bank umum. Oleh karena itu, daya saing BPR akan terus ditingkatkan antara lain dengan memberikan kemudahan pembukaan kantor cabang BPR sehingga BPR akan mampu bersaing dengan bank-bank umum yang memiliki cabang-cabang di wilayah pedesaan. Selain itu, untuk memperkuat daya saing BPR, maka BPR perlu meningkatkan efisiensi dalam melakukan kegiatan operasional usahanya. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh BPR melalui kerjasama dengan BPR-BPR lain untuk menggunakan fasilitas back office secara bersama-sama diantara BPR tersebut, sehingga mereka bisa beroperasi secara efisien dengan menekan overhead cost-nya. Secara makro, persyaratan modal minimum tersebut juga berdampak pada kondisi pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5% sampai 6% setiap tahun diperlukan dukungan kredit perbankan sebesar 22% per-tahunnya.

Pilar Kedua, Sistem pengaturan perbankan yang efektif. Guna membangun industri perbankan yang kuat harus disertai dengan pembenahan pada sistem pengaturan perbankan yang telah ada. Perbaikan proses penyusunan peraturan dan ketentuan perbankan dilakukan dengan lebih banyak melibatkan para stakeholders perbankan dalam proses penyusunannya sehingga peraturan yang dibuat akan selalu memperhatikan kemampuan stakeholders. Selanjutnya, best practices ketentuan perbankan yang bersifat internasional yang dikenal dengan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision akan terus diimplementasikan secara bertahap dalam jangka panjang. Dengan penerapan 25 Basel Core Principles fo Effective Banking Supervision maupun ketentuan best practices laiinya seperti the New Basel Accord (Basel II) diharapkan praktek penyelenggaraan perbankan nasional kita telah memiliki standar yang sama dengan bank-bank yang ada di luar negeri, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat internasional terhadap industri perbankan nasional akan semakin meningkat.

Pilar Ketiga, pengawasan bank yang independen dan efektif. Pengawasan yang independen dan efektif sangat diperlukan baik untuk saat ini maupun jangka panjang sebagai jawaban atas meningkatnya kegiatan usaha maupun kompleksitas risiko yang dihadapi oleh perbankan. Bank-bank tidak lagi hanya menjual produk dan jasa perbankan saja, melainkan juga produk-produk keuangan lainnya seperti misalnya asuransi (bancassurance), assetbacked securities (efek beragun aset) dan reksadana sehingga sehingga diperlukan pengawasan yang lebih kompleks dan rumit. Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank akan menyempurnakan sistem pengawasan bank dengan terus mengembangkan metode pengawasan bank yang berbasis pada risiko (risk-based supervision) serta melakukan konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia. Selain untuk meningkakan efektivitas pengawasan, konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia juga ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan enforcement atas ketentuan dan kebijakan perbankan yang telah dibuat oleh Bank Indonesia.

Pilar Keempat, Kualitas manajemen dan operasional perbankan.. Peningkatan kualitas manajemen bank diperlukan untuk meningkatkan good corporate governance dari manajemen bank itu sendiri, sehingga praktek-praktek perbankan yang tidak sehat (improper behaviour) dapat diminimalisir atau dihilangkan. Selanjutnya peningkatan kualitas manajemen bank juga diperlukan untuk memperkecil terjadinya risiko-risiko bank khususnya operational risk. Disamping perlunya kualitas manajemen yang baik, fundamental perbankan kita juga perlu didukung dengan adanya operasional perbankan yang efisien. Kinerja bank yang efisien memungkinkan bank-bank untuk menekan biaya serendah mungkin sehingga bank tersebut mampu meningkatkan profitabilitasnya. Untuk itu API telah merekomendasikan bank-bank untuk memanfaatkan pemakaian fasilitas operasional perbankan secara bersama-sama

(shared facilities) seperti misalnya pemakaian ATMs dan back office, sehingga bank-bank dapat mencapai economies of scales yang pada akhirnya dapat lebih mengoptimalkan profit yang didapat.

Pilar Kelima, Infrastruktur pendukung. Kehadiran infrastruktur pendukung perbankan sangat dibutuhkan untuk menunjang industri perbankan yang kuat. Prioritas infrasturktur pendukung yang riil adalah tersedianya credit bureau yang sangat dibutuhkan oleh perbankan untuk memperbaiki dan mempercepat proses pemberian kredit dari bank kepada debiturnya. Konsep credit bureau disini adalah tersedianya data historis kondisi keuangan calon debitur sehingga bank memiliki kapasitas untuk meningkatkan kualitas kredit sekaligus mengurangi potensi risiko kredit yang akan muncul. Disamping itu, konsep credit bureau tersebut memungkinkan terjadi clearing informasi diantara semua lembaga keuangan bank termasuk BPR maupun bukan lembaga keuangan bukan serta sektor ritel sehingga seseorang yang pernah memiliki kredit macet di perusahaan leasing akan sulit memperoleh kredit dari suatu bank. 

Pilar Keenam, perlindungan konsumen perbankan. Pilar ini merupakan salah satu permasalahan yang sampai saat ini belum mendapatkan tempat yang baik di dalam sistem perbankan nasional. Seringkali kita melihat bahwa nasabah selalu lemah atau pada posisi yang kurang diuntungkan apabila terjadi kasus-kasus perselisihan antara bank dengan nasabahnya, sehingga nasabah dirugikan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perbankan bersama-sama dengan masyarakat akan memiliki beberapa agenda yang bertujuan untuk memperkuat perlindungan konsumen. Agenda tersebut adalah dengan menyusun mekanisme pengaduan nasabah, membentuk lembaga mediasi perbankan (ombudsman), meningkatkan transparansi informasi produk dan melakukan edukasi produk-produk dan jasa bank kepada masyarakat luas. 

Celah dalam API
API merupakan sebuah solusi yang dapat memperkokoh fundamental perbankan di Indonesia. Segala aspek yang terkait dengan permasalahan dan tantangan perbankan nasional mampu diantisipasi sejak dini melalui penguatan fundamental perbankan tersebut. Namun seperti halnya sistim yang lain, API juga memiliki beberapa hal yang dapat menjadi celah dalam pelaksanaannya. Adapun celah tersebut antara lain adalah: Pertama, kurangnya perhatian terhadap konsep “Disiplin Pasar”. Konsep API dibangun berdasarkan rekomendasi dari Basle Committee on Banking Supervision yang menyarankan tiga pilar utama, yaitu persyaratan modal minimum, proses pengawasan, dan persyaratan disiplin pasar. Secara akademis, keenam pilar API merupakan elaborasi yang cukup mendalam terhadap dua pilar Komite Basle, yaitu persyaratan modal minimum dan proses pengawasan. Proses pengawasan bahkan memperoleh porsi yang sangat besar. Oleh karena itu, proses ini terwakili dalam seluruh program yang terdapat pada pilar kedua dan ketiga. Pilar keempat pun mengandung unsur proses pengawasan, seperti persyaratan sertifikasi bagi manajer risiko dan peningkatan Good Corporate Governance. Bahkan proses pengawasan juga ada pada pilar kelima melalui pembentukan biro kredit serta pilar keenam melalui mekanisme pengaduan konsumen dan pembentukan lembaga mediasi perbankan yang independen. Namun, rekomendasi Komite Basle mengenai persyaratan disiplin pasar justru kurang terwakili dalam keenam pilar API. Kata "disiplin pasar" bahkan tidak terwakili secara eksplisit di sana. Padahal, disiplin pasar adalah sebuah mekanisme yang mampu memaksa manajemen bank mengadopsi prinsip kehati-hatian walaupun pengawas dari otoritas perbankan sedang lengah. Hal ini bisa dikarenakan hukuman oleh pasar bisa sangat besar dan merusak kesehatan bank. 

Sebagai contoh, apabila sebuah bank menggunakan manajemen risiko yang kurang layak maka bank tersebut bisa dihukum dengan tingkat premi risiko yang lebih tinggi jika Indonesia mempunyai sebuah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang kredibel dalam pemeringkatan manajemen risiko. Akibatnya, bank tersebut bisa dihukum oleh nasabahnya. Antara lain, mereka bisa saja mulai mengalihkan simpanannya ke bank lain. Jika bank tersebut sudah Go Public, kondisi ini bisa menjatuhkan harga saham bank. Konsekuensinya, nilai kecukupan modal, kesehatan, dan kinerja bank akan merosot. Komisaris dan direksi bank pun secara profesional akan terhukum, baik melalui berkurangnya bonus, rusaknya reputasi pribadi, maupun kemungkinan diberhentikan sebelum waktunya. Sayangnya, masalah LPS, premi risiko, lembaga pemeringkat manajemen risiko, dan berbagai kebutuhan infrastrukturnya kurang dibahas dalam API. Penggunaan lembaga pemeringkat memang masuk dalam pilar kelima, tapi lebih terfokus pada obligasi yang diterbitkan bank. Kata LPS bahkan sama sekali tidak muncul, padahal itu merupakan institusi kunci bagi perbankan Indonesia di masa mendatang. Hal tersebut membuat konsep pengawasan API terlalu bias ke arah pengawasan birokratis. Disiplin pasar adalah konsep pengawasan yang melekat pada diri bank. Karena itu, konsep API sangat harus memasukkan disiplin pasar.

Kedua, persyaratan modal minimum. Persyaratan modal perbankan sebesar 100 milyar Rupiah memang merupakan sebuah tuntutan yang kondusif bagi penguatan perbankan nasional. Akan tetapi, beberapa hal tentang modal minimum ini juga perlu mempertimbangkan “nilai uang” dari 100 milyar Rupiah tersebut. Hal ini dikarenakan API akan berlangsung pada tahun 2014 sehingga nilai 100 milyar Rupiah tersebut termasuk dalam nilai uang pada tahun sekarang ataukah pada tahun 2014 mendatang. Sebab, nilai 100 milyar Rupiah di tahun 2014 bisa jadi tidak mencukupi sebagai nilai minimum permodalan perbankan nasional mengingat nilai uang yang semakin meningkat setiap tahunnya. Selain itu, pertimbangan bank-bank yang pada tahun 2014 belum mampu mencukupi persyaratan tersebut akan diberikan solusi apa? Hal ini pula yang menjadi pertanyaan dalam persyaratan modal minimum.

Ketiga, porsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ke-enam pilar API masih belum memberikan deskripsi yang jelas mengenai eksistensi OJK sebagai sebuah lembaga independen yang mengawasi perbankan Indonesia. Pengalaman beberapa negara lain yang telah menerapkan OJK seperti Australia, Jepang, Inggris dan Korea Selatan kurang terlihat pada stage awal penerapan penyehatan perbankan. OJK sebagai suatu sistim kontrol mungkin akan lebih berguna saat sistim sudah berjalan dengan baik. Selain itu, keberadaan OJK di awal proses restrukturisasi penyehatan perbankan akan menjadikan potensi konflik dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang memiliki fungsi sebagai Lender of The Last Resort.

Jejak Langkah API Dalam Dua Tahun Terakhir
Terlepas dari pro dan kontra, Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai sebuah rancangan bentuk industri perbankan yang ingin dicapai di masa depan telah memberikan jejak langkah yang jelas dan terarah. Sampai pada tingkat tertentu yang terukur, ketentuan dan peraturan serta implementasi sendi-sendi operasional perbankan melalui program API dapat berjalan dengan baik dengan hasil yang cukup memuaskan dari tahun ke tahun. 

Secara umum, beberapa tahun terakhir terlihat bahwa ketahanan industri perbankan nasional mengalami peningkatan terutama dari sisi permodalan. Hal ini dapat dilihat melalui nilai CAR industri perbankan saat ini yang berada pada kisaran 20%, sehingga kemungkinan masih cukup memadai guna menyerap berbagai risiko yang mungkin timbul. Bentuk riil pencapaian keberhasilan API dapat dilihat melalui peningkatan peran fungsi intermediasi perbankan dari berbagai program API seperti lingkage program bank umum dengan BPR, dan skim penjaminan kredit Askrindo dengan Pemda telah berhasil diimplementasikan. Sementara itu, peningkatan kualitas SDM perbankan melalui program sertifikasi manajemen risiko baik bagi manajemen perbankan maupun para pengawas secara bertahap telah dilaksanakan dan terus semakin meluas. 

Pencapaian lain yang tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan tugas pengawasan bank yang secara bertahap mengalami perbaikan-perbaikan dari sisi kualitas, kedalaman, dan luasnya cakupan pengawasan. Berdasarkan penilaian terakhir pada bulan Oktober 2005 yang dilakukan oleh Technical Advisor Bank Indonesia dari FSA menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan Bank Indonesia terhadap The 25 Basel Core Principles mengalami peningkatan yang signifikan. 11 butir-butir Core Principles yang di waktu lalu secara kualitas tergolong non-compliant ataupun materially noncompliant saat ini telah membaik dan tergolong menjadi largely compliant bahkan banyak yang telah tergolong fully compliant. Secara umum, dalam penggunaan ukuran The 25 Basel Core Principles, 22 butir principles dalam pengawasan Bank Indonesia kualitasnya telah tergolong compliant. Dari beberapa principles tersebut, hanya pelaksanaan penilaian risiko secara terkonsolidasi dan peningkatan akurasi data pengawasan yang masih belum terlaksana secara optimal. Berdasarkan hasil pencapaian sesingkat ini, maka API sebagai sebuah konsep relatif lebih komprehensif dan efektif dibandingkan Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah. Semoga API dapat membakar elemen-elemen perbankan nasional dalam tungku perekonomian nasional sehingga dapat menciptakan pilar-pilar besi yang kokoh dan megah sebagai fundamental industri perbankan di Indonesia.

Selengkapnya

Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Dialektika Rasio Dan Tradisi

Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Dialektika Rasio Dan Tradisi : Pembangunan ekonomi di negara kita masih belum beranjak jauh dari situasi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada bulan November 1997, walaupun Era Reformasi sudah dicanangkan sejak Soeharto turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998. Era Reformasi sudah berlangsung lebih dari 8 tahun, tapi belum ada hasil yang signifikan. Hal ini terjadi karena krisis yang terjadi di negara kita bukan hanya sekedar krisis ekonomi tetapi krisis budaya. Memang terdapat hubungan yang paralel antara aspek ekonomi atau material dan aspek budaya (immaterial) (Rochmat, 2005). 

Dalam bidang immaterial ini, kita belum berhasil merumuskan bentuk identitas budaya bangsa. Yang dimaksud dengan negara Pancasila sebenarnya masih berproses mencari bentuk. Negara Pancasila berpretensi sebagai negara yang tidak sekuler dan tidak berdasarkan agama. Bentuk negara Pancasila dijadikan alternatif untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang pluralis. Ancaman bangsa kita sudah dirumuskan sebagai SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan). 

Diharapkan umat Islam dapat memainkan peranan yang besar bagi terciptaya identitas bangsa ini, mengingat mereka merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Kenyataannya, umat Islam belum berhasil merumuskan kebudayaan Islam Indonesianis (budaya Pancasila) karena berbagai kelompok umat Islam masih mengalami hambatan komunikasi, dan kadang-kadang mereka mengembangkan ideologi yang tidak mudah dicarikan titik temunya. 

Adopsi ideologi tertentu oleh suatu kelompok adalah konsekuensi logis bagi agama yang memiliki hubungan erat dan berpretensi untuk mengatur urusan duniawi. Hendaknya tiap-tiap ideologi agama tidak mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, walaupun hal itu merupakan suatu sikap yang tidak mudah diwujudkan bagi gerakan yang berpretensi dengan gerakan revolusioner. Hendaknya, mereka menyadari bahwa agama bukanlah suatu ideologi, dan karenanya ideologi harus diarahkan untuk mewujudkan suatu misi agama yang ingin menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia, seperti hak hidup manusia, keadilan, kebebasan, kesejahteraan dan kemakmuran. Bila mereka menyadari relasi peran ideologi dan agama maka tidaklah sulit bagi mereka untuk mengembangkan suatu dialog bagi upaya mencari dan merumuskan suatu program bersama yang berguna bagi kemanusiaan. 

Tulisan ini membatasi keterkaitan agama sebagai ancaman kesatuan bangsa, khsusnya dengan menganalisis model pembaharuan Muhammadiyah dilihat dari aspek epistemologisnya agar mendapatkan gambaran mengenai proses perumusan kebenaran. Untuk itu berturut-turut akan dibahas Pembaharuan Parsial Muhammadiyah, Pembaharuan Kontekstual, dan diakhiri dengan Penutup.

Pembaharuan Parsial, Berdasarkan Rasio
Para tokoh pembaharu Islam cenderung melakukan pembaharuan yang sifatnya normatif (berdasarkan rasio) dengan melupakan realitas sosiologis-historis suatu komunitas Islam. Mereka hanya mendasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan suatu komunitas yang menjadi sasaran dari pembaharuan itu, sehingga pembaharuan dapat berjalan secara efektif. Komunitas tidak berada dalam suatu ruang hampa udara, di dalamnya berkembang suatu tradisi/budaya yang hendaknya diperhitungkan agar pembaharuan dapat berjalan efektif dan bukannya kontra-produktif. 

Pembaharuan berdasarkan rasio memang dicanangkan sebagai paket sekali jadi, ibarat obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit. Ini mustahil, karena tantangan suatu zaman berbeda-beda maka obatnya pun tentu berbeda. Memang secara rasio, suatu obat “A” akan dapat mengobati suatu penyakit “A”, namun masing-masing pasien memerlukan dosis yang berbeda-beda, disesuaikan dengan umur, kondisi kesehatan, dan ada tidaknya alergi terhadap unsur obat tertentu.

Pembaharuan Muhammadiyah berangkat dari segi rasio ini. Memang rasionalitas normatif ini dapat diterima umat Islam di daerah perkotaan yang relatif sudah terlepas dari tradisi dan karenanya sedang memerlukan ikatan sosial baru. Kenyataanya, secara tidak disadari Muhammadiyah berangkat dari realitas sosiologis-historis masyarakat Islam di kauman Yogyakarta. Boleh dikata mereka adalah penduduk kota, karena tinggal di sekitar keraton dan pada umumnya pendatang dari berbagai daerah. Mereka memerlukan ikatan sosial baru yang dapat digunakan juga untuk mengatasi permasalahan yang melilitnya seperti pekerjaan non-agraris, kesehatan, pendidikan, dan anak yatim piatu.

Praksis Muhammadiyah Vs Ideologi 
Apa yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan merupakan suatu terobosan dengan membentuk “organisasi” yang bentuknya bukan partai politik. Bentuk organisasi diadopsi dari cara-cara modern yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda. Sehingga tidak mengherankan bila KH Ahmad Dahlan tidak menghasilkan sejumlah buku keagamaan karena dia lebih menekankan pada usaha paksis untuk merebut urusan duniawi. Berikut komentar Prof. Dr. M. Amin Abdullah (1995: 27):

…pilihan itu bukan didasarkan pada hasil cermatan kajian literatur Islam klasik dan juga tidak memperoleh inspirasi dari konsep-konsep “teologis” atau “kalam” klasik yang telah “baku” dan “mapan” dalam literatur-literatur khazanah intelektual lama.

K.H. Dahlan meyakini agama bersifat manusiawi, agama yang mampu memberikan sesuatu kepada manusia melalui berbagai bentuk amaliyah. Oleh karena itu dia menghindari persoalan teologis, karena akan menghalangi agama untuk melakukan suatu tindakan nyata melalui berbagai bentuk amaliyah yang bermanfaat bagi siapa saja tanpa memandang afiliasi teologisnya. Teologi disini bukanlah sebagai suatu ilmu Ketuhanan yang bias nilai, melainkan ada suatu bias kepentingan karena dirumuskan sendiri oleh manusia; dan hal ini seringkali tidak disadari oleh umat Islam. 

Ketika ada salah seorang santrinya mengusulkan agar agar K.H. Ahmad Dahlan menulis kitab untuk menjelaskan pemikirannya yang inovatif itu, maka dia menjawab: “Apakah saudara ini menganggap saya orang gila?” dan jawaban itu diulangi sampai tiga kali. Kyai Dahlan melihat sudah banyak kitab yang ditulis, yang menyebabkan umat terpecah belah; dan ia tidak ingin menambah satu kitab lagi karena dikhawatirkan dapat menambah runyam suasana. Dengan demikian, model dakwah K.H. Dahlan bersifat praktis dan bukan ideologis (teologis) (Fachruddin, 1990: 420). 

Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan dalam Islam dengan menempuh jalan para modernis gerakan Salafiyah dari abad ke-19 seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridla (1856-1935). Gerakan Salafiyah ini dipandang sebagai kelanjutan dari gerakan pembaharuan yang Qoyyim al-Jauziyah (1292-1350), yang berusaha untuk membuka pintu ijtihad; dan dilanjutkan oleh Gerakan Wahabi di Saudi Arabia yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahad (1703-1787) (Kamal, 1994: 6-7).

K.H. Ahmad Dahlan merumuskan gerakan pembaharuannya dalam bentuk “Purifikasi dan Dinamisasi”. Purifikasi didasarkan pada asumsi bahwa kemunduran umat Islam terjadi karena umat Islam tidak mengembangkan aqidah Islam yang benar, sehingga harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan doktrin “segala sesuatu diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Qur’an dan Hadits”. Sedangkan dinamisasi diterapkan dalam bidang muammallah, dengan melakukan gerakan modernisasi sepanjang sesuai dengan doktrin “semuanya boleh dikerjakan selama tidak ada larangan atau tidak bertentangan Al-Qur’an dan Hadits.

Dari penelitian terbaru diketahui ada beberapa perbedaan antara pembaharuan Muhammadiyah dengan pembaharuan yang dilakukan Abduh tersebut. Abduh lebih menekankan pada pembaharuan di bidang muammalah (the social aspect of Islam) atau lebih dikenal dengan progam modernisasi. Sementara Muhammadiyah lebih cenderung menempuh jalan Muhammad Abdul Wahab dengan gerakan purifikasinya (the belief aspect of Islam). Artinya Muhammadiyah menekankan ijtihad dalam bidang aqidah (ibadah) dan sebaliknya Abduh menyeru ijtihad dalam bidang muammallah (duniawi) seperti politik, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Saya melihat ijtihad dalam bidang aqidah yang dilakukan Muhammadiyah adalah aqidah yang memiliki keterkaitan dengan aspek sosial kemasyarakatan (budaya), bukan aqidah mahdlah (ibadah murni). Karena ijtihad dalam bidang ibadah murni seperti shalat, puasa, dan haji, dalam pandangan Syaikh Muhammad Al-Ghazali (1996: 129) sebaiknya ditutup untuk mengurangi perpecahan di kalangan umat Islam. Dan kenyataannya Muhammadiyah mendasarkan gerakan purifikasinya pada pemikiran madzhab fiqih yang sudah ada, disamping dicari rujukannya langsung pada Al-Qur’an dan Hadits. 

Ijtihad dalam bidang aqidah yang berkaitan dengan aspek budaya ini memang penuh resiko karena pembicaraan mengenai iman (lebih luas dari aqidah) merupakan pembicaraan yang sangat luas. Iman menempati segala sesuatu. Iman memiliki sifat-sifat dan karakter tertentu, tetapi secara praktis tidak berbentuk tertentu. Ia teoritis dan konseptual. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran 193 ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu.” Maka kami pun beriman.’ (Ghazali, 1996: 129).

Iman tidak bisa dibatasi pada masalah aqidah saja maka pelaksanaan purifikasi di lapangan mengalami kesulitan karena bid’ah yang dianggap dalam wilayah aqidah bercampur aduk dengan bid’ah dalam wilayah budaya. Jika memang begitu yang terjadi, maka pecoretan tradisi, budaya, adat istiadat perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian, lantaran apa yang disebut budaya dan tradisi sesungguhnya jauh lebih luas daripada aqidah (Abdullah, 2000: 11).

Ijtihad Muhammadiyah Vs Tradisi
Pembaharuan Muhammadiyah yang beranjak dari latar belakang sosio-historis masyarakat kota itu, tidak dapat diterima dan menuai reaksi negatif dari kalangan umat Islam di daerah pedesaan yang masih mempertahankan tradisi. Seperti dijelaskan di atas, iman itu suatu konseptual, dan konsep yang ditawarkan Muhammadiyah tersebut tidak sesuai dengan realitas kontekstual masyarakat desa yang memegang teguh tradisi. Bagi Muslim di pedesaan, tradisi ini sangat penting karena telah memberi makna dan identitas bagi kehidupannya. Bahkan kedalam tradisi ini telah diinfuskan nilai-nilai Islam. Karena itu tuduhan sebagai penyebar penyakit TBC (Tahayyul, Bid’ah, da Churafat) sangat menyakitkan. 

Kita bisa mengatakan pembaharuan Muhammadiyah itu masih bersifat realitas parsial, karena hanya berangkat dari latarbelakang masyarakat perkotaan; dan karenanya menuai reaksi negatif dari komunitas Islam di daerah pedesaan. Ini sangat disayangkan karena Muhammadiyah juga berkepentingan untuk melakukan dinamisasi melalui program modernisasi dalam bidang muammallah. Sebenarnya reaksi negatif ini dapat diminimalkan menjadi sikap saling menghormati satu-sama lain, atau kalau mungkin dikembangkan sikap kerjasama satu sama lain bila umat Islam Indonesia telah berhasil mengembangkan kegiatan intelektual yang baik. Tentunya kegiatan intelektual waktu itu masih terbatas, karena kita masih di bawah belenggu penjajah Belanda. Situasi sekarang saja belum ada usaha yang serius dari seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah dan ormas Islam, untuk mengembangkan kajian Islam dari berbagai disiplin ilmu, sebagai bahan referensi untuk merumuskan pembaharuan Islam dengan daya jangkau yang lebih luas lagi.

Memang perlu disadari sejak awal kalau pembaharuan itu masih bersifat parsialis agar ada kesadaran untuk melakukan pembaharuan yang terus-menerus. Karena pembaharuan Islam memang bukan paket sekali jadi. Memang untuk merumuskan pembaharuan Islam yang memiliki kemampuan sinergis dengan managerial global membutuhkan waktu dalam proses sejarah yang lama dan kadang tidak mulus. Adalah sulit untuk sejak dini merumuskan pembaharuan yang memiliki daya jangkauan global bila kita belum memiliki informasi yang lengkap mengenai realitas sosiologis-historis semua komunitas Islam. Karena masing-masing komunitas Islam tersebut memiliki keunikan budaya yang harus diperlakukan secara khusus pula. 

Yang perlu diperhatikan, setiap melakukan pembaharuan harus mengakui realitas sosiologis-historis suatu komunitas Islam terlebih dahulu. Kemudian baru dilakukan modifikasi terhadap suatu tradisi agar dapat menjawab tuntutan zaman. Caranya dengan melakukan pemurnian alam pemikiran Islam yang masih terpengaruh oleh lapisan tipis tradisi Hindu-Budha maupun nenek moyang, dengan tidak menghilangkan tradisi tersebut yang merupakan konvensi atas keberterimaannya terhadap Islam. Pembaharuan diarahkan untuk mendekati perintah yang tercantum di dalam Quran maupun Hadits, sebagai idealisasinya. 

Variasi budaya berimplikasi pada variasi pembaharuan Islam. Memang disadari atau tidak pembaruan selalu berangkat dari realitas sosiologis-historis suatu budaya. Karena itu pembaharuan Islam seringkali dipandang penuh curiga oleh komunitas Islam lainnya yang memiliki realitas sosiologis-historis yang berlainan. Memang ini wajar setiap memulai pembaharuan dan kita dituntut bersikap dewasa terhadap mereka yang masih sangsi terhadap komitment pembaharuan ini. Kita hendaknya mampu meyakinkan pembaharuan ini juga sangat diperlukan dan selanjutnya berusaha menjalin kerjasama dengan berbagai kelompok lain. Toleransi yang tulus di antara berbagai organisasi Islam di Indonesia ini merupakan prasyarat bagi terciptanya budaya Islam Indonesianis. 

Perlu diketahui, sepanjang sejarah Islam kita mendapatkan suatu fakta bahwa sesama organisasi Islam sangat sulit mewujudkan suatu sikap toleransi. Konflik antara Kekhalifahan Abbasiyah di Bangdad dengan Kekhalifahan Muawiyah di Spanyol tidaklah karena perbedaan teologis/ideologis, tetapi mereka berebut klaim sebagai satu-satunya penegak kebenaran yang sah. Demi menghancurkan lawannya, Kekhalifahan Abbasiyah menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan Kristen seperti Kerajaan Perancis. Pertentangan sesama umat itu melemahkan umat Islam sendiri, bahkan akhirnya Islam harus tunduk pada peradaban Barat. 

Pada sisi lain, sejarah Islam mencatat dengan tinta emas sikap toleransi umat Islam terhadap penganut beragama lain. Mereka menghargai keyakinan agama lain, apalagi agama Kristen, yang tergolong kedalam golongan ahli kitab (ahlul kitab) yang diakui keberadaannya oleh al-Qur’an. Dalam situasi seperti itu umat Kristen belajar dari kesalahan masa lalunya, dan mereka mengadopsi peradaban Islam yang lebih maju pada masanya. Pada abad ke-12-14, Barat masih ketinggalan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kemudian mereka berhasil membidani kelahiran modern science karena telah berhasil mengembangkan suasana free and open discourse. Hal inilah yang menjadi starting point Toby E. Huff untuk menulis bukunya The Rise of Early Modern Science. Dia benar ketika mengatakan ‘The path to modern science is the path to free and open discourse….’ (Huff, 1998: 46). 

Tidak lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari dunia Islam bukan karena Islam tidak cocok dengan ide-ide modern, tetapi karena umat Islam gagal dalam mengembangkan free and open discourse. Karena hanya dengan toleransi dan kebebasan memungkinkan kita mengadopsi unsur-unsur peradaban lain yang positif bagi upaya mengembangkan peradaban Islam sendiri dan memang kegiatan budaya dan intelektual bersifat lintas budaya.

Sebenarnya permasalahan umat Islam tidak bersifat filosofis karena al-Qur’an tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Persoalannya terkait dengan permasalahan “sosia-kultural”, berkaitan dengan hasil interpretasi terhadap al-Qur’an, yang seharusnya bersifat relatif karena sebagai hasil pemikiran manusia yang terikat oleh ruang dan waktu; namun pemikiran keagamaan itu dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak boleh dikritik karena diyakininya sebagai teologi. Dengan demikian suatu persoalan sosio-kultural telah diganti peran sebagai persoalan teologi, sehingga persoalan itu menjadi sulit untuk diurai benang kusutnya. Contohnya, sampai awal abad ke-19 Kekhalifahan Turki melarang penggunaan mesin print untuk menulis huruf Arab yang dianggapnya sebagai bahasa Tuhan, namun bisa digunakan untuk mencetak huruf dari bahasa lainnya. Hal ini berakibat pada mandegnya intelektual Islam, dan sebaliknya huruf Latin menjadi berkembang pesat (Huff, 1998: 46). 

Tradisi Muhammadiyah?
Selama ini orang selalu menentangkan istilah modern dengan tradisi, tidak terkecuali dengan Muhammadiyah yang mengklaim dirinya sebagai organisasi Islam modern. Konsekuensinya, apakah Muhammadiyah mengembangkan suatu tradisi, karena tradisi selalu berakar dari masa lalu. Dalam bidang kebudayaan Muhammadiyah meniru ide-ide kebudayaan modern tentang pertumbuhan (growth) dan kemajuan (progress), yang merupakan turunan dari materialisme. Dengan demikian Muhammadiyah mgadopsi struktur masyarakat modern. 

Dalam melakukan pembaharuan, kaitannya dengan upaya dinamisasi, Muhammadiyah mengembangkan pendekatan strukturalisme transendental di dalam pemikiran keagamaannya, yaitu bertujuan ‘menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya’, sebagaimana diyakini oleh cendekiawan Muhammadiyah Prof. Dr. Kuntowijoyo (2001: 9-29). Dengan begitu Muhammadiyah meniru struktur masyarakat modern untuk mengimplementasikan ajaran Islam itu. Memang Muhammadiyah telah berhasil mengisi struktur masyarakat modern di Indonesia dalam birokrasi, industri, perdagangan, pendidikan, militer, dll. 

Cendekiawan dari Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan (2000: v-xiv) menyebut ada dua konsekuensi dari arah kebudayaan seperti itu, yaitu: Pertama adalah sifat elitisme yang telah menjadikan Muhammadiyah sebagai privilege golongan menengah-ke-atas. Kedua adalah pergeseran dari gerakan pembaharu sosial budaya menjadi gerakan yang terjebak pada persoalan-persoalan fiqhiah. Hal itu terjadi karena orang modernis telah melangkah terlalu jauh dengan menjadikan materialisme dan rasionalisme bukan lagi sekedar perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi. 

Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan dampak negatif lainnya, kalu Muhammadiyah sebagai “gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan”, karena kebudayaan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah bersifat elitis sehingga tidak dapat menjangkau lapisan bawah umat Islam. Hal itu terjadi karena Muhammadiyah tidak berusaha merubah tradisi dari dalam, melainkan dengan membentuk gerakan baru yang berbasis masyarakat kota. Dan untuk waktu yang lama tidak mengakomodasi masyarakat di daerah pedesaan yang masih memegang tradisi. 

Kuntowijoyo menganalisa keringnya misi kebudayaan dalam Muhammadiyah pada struktur yang melatar belakangi para pendukung awal Muhammadiyah, yaitu masyarakat kampung-kota, yang perhatiannya lebih tertuju pada pemenuhan tuntutan modernisasi yang bersifat materialistis. Muhammadiyah cenderung bersifat pragmatis, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesaat dalam masyarakat modern dan belum sempat mengupas hakekat kemanusiaan. Seolah-olah hidup ini hanya dapat dibereskan secara teknis formal dan organisatoris (Kuntowijoyo, 1991: 269).

Berdasarkan kritik-kritik dari kalangan intern di atas kita tahu ada unsur plus minus yang inheren dalam hampir setiap tindakan. Dan kita konsisten untuk meminimalkan segi minusnya dengan serangkaian kegiatan yang reformatif. Modal sudah ada. Eksistensi Muhammadiyah sendiri suatu yang luar biasa. Hal ini tentu akan lain bila Muhammadiyah mengambil bentuk organisasi politik. Bukankah partai politik Islam mengalami pasang surut, timbul dan tenggelam. 

Muhammadiyah relatif sukses dalam menarik jumlah anggota maupun simpatisan dan menjadi ormas keagaman terbesar kedua. Secara tidak langsung Muhammadiyah mendorong lahirnya berbagai organisasi lain seperti Nahdlatul Ulama (NU) demi menggairahkan modernisasi dalam agama Islam. Selanjutnya warna pembaharuan Islam lebih menonjol ditentukan oleh proses dialektika Muhammadiyah dan NU di pentas sejarah Indonesia. 

Pembaharuan Konstektual, Mempertimbangkan Tradisi
Biasanya diterima asumsi bahwa agama dianggap sebagai unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain, bila dibandingkan dengan unsur-unsur lain seperti: sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, ikatan-ikatan yang ditimbulkan oleh sistem mata pencaharian, sistem teknologi dan peralatan. Tetapi sejarah kehidupan bangsa kita yang panjang tidak sepenuhnya dapat disesuaikan dengan asumsi tersebut. Berbagai agama datang dan berkembang secara bergelombang ke Indonesia, mengganti agama yang lama dan menanamkan ajaran-ajaran agama yang baru secara silih berganti, tetapi dalam kenyataannya sistem mata-pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan yang dikatakan sebagai unsur yang paling mudah, ternyata yang paling sedikit mengalami perubahan sejak pra-Hindu sampai kepada masa sekarang. Pengalaman sejarah itu justru menunjukkan agama berubah lebih cepat, ia berubah lebih dahulu sebelum yang lain-lain menglami perubahan. 

Pandangan Snouck Hurgronje juga bertentangan dengan kenyataan sejarah bangsa kita bahwa tiap-tiap periode sejarah kebudayaan sesuatu bangsa, memaksa kepada orang beragama untuk meninjau kembali isi dari kekayaan aqidah dan agamanya. Pandangan itu secara implisit bermakna bahwa proses peninjauan kembali isi ajaran-ajaran agama oleh para penganutnya sifatnya reaktif karena adanya perubahan periode kebudayaan di mana agama itu hidup. Ini juga bertentangan dengan pengalaman sejarah kebudayaan pada umumnya yang menunjukkan bahwa pemahaman baru terhadap ajaran agama justru menumbuhkan periode baru dalam kebudayaan bangsa-bangsa (Wahid, 1999: 72).

Sejarah membuktikan bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material. Hal tersebut telah menjadi perhatian sosiolog Max Weber (1864-1924) dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam buku tersebut dirumuskan pertanyaan: Why capitalist industrialisation became a society-wide system in Europe and not in the other places?. Jawabannya adalah pemikiran agama mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Dia menjelaskan industri modern berkembang di Eropa setelah tersebarnya dan diterimanya teologi Protestan dari Jean Calvin (1509-1564). Calvin sangat menekankan peranan rasio (akal) dalam pemahaman agama, dan karenanya para pendukungnya bersikap rasional dalam kehidupan di dunia ini. Max Weber berkesimpulan bahwa penganut Calivinisme bekerja keras, menabung uang, dan hidup ekonomis.

Dalam kasus agama Islam, pemikiran agama juga terus-menerus mengalami pembaharuan untuk memberi makna terhadap perubahan dan perkembangan dalam kehidupan di dunia dalam setiap manifestasinya. Akan tetapi pembaharuan Islam di era modern masih belum berhasil secara optimal dan terasa kurang efektif; sebagai konsekuensinya di bidang materi, umat Islam juga masih tertinggal dari peradaban Barat. Memang beberapa negara Islam telah dapat mengikuti perkembangan teknologi modern, tapi karena belum didukung oleh pemikiran agama yang mampu menopangnya maka hasilnya masih jauh dari memuaskan. Tony Barnett (1995: vii) benar bahwa:

the main problems in the Third World are not, by and large, the absence of technical specialists - countries such as …Pakistan have these aplenty; …. The main problems are sociological and political problems, the contexts within which apparently ‘technical’ decisions are taken. 

Dengan kata lain, kemampuan teknis di dunia Islam belum dapat memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan material secara luas karena belum ada kondisi yang kondusif dalam aspek immaterial, seperti pemikiran agama.

M. Amin Abdullah (Abdullah, 2000: 13) menilai akar penolakan tradisi yang berbau TBC didasarkan pada keilmuan klasik yang sangat terpengaruh logika Yunani yang bersifat hitam-putih, sehingga tidak dapat menjelaskan realitas kehidupan yang ada di lapangan. Konfigurasi dan peta tata pola pikirnya terlalu skematis, sehingga tidak dapat mempertimbangkan adanya bentuk konfigurasi yang over lapping (posisi jumbuh), yang melibatkan sebagian dari dua sisi sekaligus. Padahal nash-nash al-Qur’an sendiri memungkinkan adanya kategori “middle”, yang perlu dicermati secara lebih serius.

Kuntowijoyo (1995: 86-87) mengkritik TBC masih ditampilkan dalam realitas subyektif, dan belum ditampilkan secara empiris-obyektif, dimana kita berada dalam stuktur sosial yang berbeda. Konsep klasik tentang TBC yang disusun dengan cara pikir deduktif yang menekankan segi rasio perlu dilengkapi dengan cara pikir induktif yang bersifat empiris-historis. Dominasi pemahaman keagamaan yang tekstual normatif cenderung mengabaikan kajian keislaman yang kontekstual hisorik. Inilah yang menjadikan pemikiran Muhammadiyah terasa kurang aktual dan irrelevan dengan perubahan sosial yang begitu cepat. Karenanya orang lebih mengenal gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan anti-TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churafat), dan bukan gerakan pembaharu sosial-budaya (Mulkhan, 2000: ix).

Pendapat Syafii Maarif (2000: xxviii) bisa dijadikan starting point untuk menjelaskan hubungan agama dengan peradaban. Beliau mengutip Al-Qur’an surat-surat al-Shaf 9, al-Fath 28, dan al-Taubah 33 dan sampai pada kesimpulan kalau Islam harus unggul dan menang berhadapan dengan agama-agama manapun di muka bumi ini. Menurutnya keunggulan itu tidak saja dalam domain teologis-eskatologis, tetapi juga dalam perlombaan peradaban. Dia menilai Islam yang unggul dalam sistem iman tapi kalah dalam perlombaan peradaban karena ketegangan purifikasi dan dinamisasi belum menemukan satu titik yang stabil.

Agar Islam dapat unggul dalam masalah peradaban modern maka Islam perlu menangani persoalan peradaban, atau dengan kata lain Islam perlu menangani permasalah kehidupan di dunia ini yang bersifat duniawi pula. Dalam konteks sekarang ini Islam perlu merumuskan secara jelas partisipasinya dalam kehidupan modern, disamping tradisi. Dengan begitu Islam tidak bisa lepas dari persoalan modernisasi dan globalisasi. 

Sedangkan dalam konteks Indonesia, Islam perlu merumuskan budaya Islam dalam konteks Indonesia. Gerakan-gerakan Islam harus dikaitkan dengan gerakan nasional bangsa Indonesia yang lebih luas agar mereka tidak teralienasi dari jaringan koalisi nasional, disamping agar gerakan nasional itu selalu mendapat bimbingan dari agama. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu.

Hendaknya umat Islam membangun budaya yang bisa membangkitkan rasa memiliki pada Islam dan sekaligus mengembangkan rasa cinta tanah air Indonesia yang memiliki ciri kebhinekaan, yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72). Karena Islam belum berhasil mengembangkan suatu budaya Islam Indonesianis maka selama ini yang dikenal sebagai pendukung gerakan nasional adalah partai-partai nasionalis seperti PNI. Bahkan PKI yang berkeyakinan kemerdekaan sebagai suatu batu loncatan saja dianggap lebih nasionalis. Hal ini terjadi karena gerakan Islam lebih asyik berbicara tentang masyarakat Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW yang sudah berlangsun 14 abad yang lalu daripada berbicara bagaimana mengisi kemerdekaan. 

Islam yang dikaitkan dengan persoalan peradaban berarti menempatkan Islam sebagai agama realitas, agama yang berpretensi untuk menangani masalah kemanusiaan pada umumnya; dan di Indonesia, perlu menangani masalah keindonesiaan yang bhineka tunggal ika. Gagasan Islam realitas merupakan konstruksi baru bagi umat Islam dalam menghadapi persoalan-persoalan kontekstual. Di tengah kebingungannya menghadapi realitas ini, Islam realitas seakan membuka tabir baru wajah Islam yang penuh dengan khazanah dan nomenklatur berbagai aura pemikiran keagamaan yang kemudian dipadukan dengan kondisi kontekstual.

Gagasan itu juga tidak hendak menanggalkan teks-teks keagamaan, atau apalagi memisahkan agama dari realitas seperti gagasan sekularisasi. Tetapi, Islam realitas mempunyai pretensi, bahwa ajaran agama tidak seharusnya dibawa hanya pada persoalan simbolitas dan praktik-praktik 'mistifikasi', sehingga ajaran agama tidak mengena pada aspek substansinya.

Perhatian terhadap realitas sosiologis-historis berbagai komunitas Islam sangat penting, mengingat masing-masing mewakili budaya tersendiri dengan berbagai bentuk konvensinya, seperti diyakini sejarawan Thomas L. Haskell (1999: 3) bahwa: “…Nietzsche, who had no qualms at all about asserting the priority of convention over reason, just so long as he secured recognition that both were subordinate to the “will to power.” Konvensi sebagai kesepakatan dari suatu komunitas harus dipertimbangkan terlebih dulu, karena hal ini terkait erat dengan konteks sejarah berlangsungnya konvensi tersebut. Baru dilakukan dialog seiring dengan berlalunya waktu agar dianggap lebih rasional. 

Karena rasio bukan satu-satunya patokan bagi segala sesuatu. Sebagaimana dikatakan Ibn Taimiyyah “al-Haqiqatu fii al-a’yan laa fii al-adzhan” (Kebenaran adalah pada realita, bukan pada konsepsi-teoritis pada akal semata) (Abdullah, 2000: 2). Manusia juga punya aspek perasaan, sebagai pemberi makna bagi hidup manusia di dunia. Hal tersebut hanya didapatkan pada budaya atau tradisi suatu kelompok. Karena itu tradisi harus diperhitungkan di dalam merumuskan pembaharuan Islam. Hal itu karena tradisi merupakan realitas sosiologis-historis suatu komunitas, suatu yang dapat berubah tapi tidak dapat dihilangkan sama sekali. 

Memang harus disadari kalau tradisi bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi pembangunan. Sebagaimana dikatakan Tony Barnett (1995) that the development process requires an understanding of the economic, cultural and political ways in which people organize their lives. Ahli sosiologi Lithman (1983), juga berkeyakinan that development and underdevelopment relate not only to all aspects of living of its society but also its relations to boarder social system that are to its neighboring societies, to the city network, to the state system, regional system and the global system. 

Namun secara internal, faktor yang paling mempengaruhi pembangunan adalah tradisi. Memang kita tidak dapat mengabaikan faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, sejarah, geografi, dan agama; tetapi semuanya itu secara substansial terkait dengan tradisi sebagai pemberi makna kehidupan, disamping sebagai pemberi identitas kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain. Hal ini berarti perlu diterapkan strategi pembangunan yang berbeda sesuai dengan tradisi yang ada (Ross, 1999: 42).

Memang sulit melihat tradisi sebagai faktor dominan dalam revolusi (radical development) karena tradisi itu sendiri multidimensi, namun tradisi ini menjadi kerangka bagi perubahan yang radikal (revolusi). Revolusi ini sebenarnya bersifat multidimensional, namun memanifestasi dalam aspek tertentu seperti politik atau ekonomi sebagai penyebab langsungnya (casus belly).

Selengkapnya

Pengertian Wawasan Kebangsaan

Pengertian Wawasan Kebangsaan : Kata wawasan berasal dari bahasa Jawa yaitu mawas yang artinya melihat atau memandang, jadi kata wawasan dapat diartikan cara pandang atau cara melihat.Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dan sikap bangsa Indonesia diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Wawasan Kebangsaan atau Wawasan Nasional Indonesia adalah merupakan sebuah pedoman yang masih bersifat filosofia normatif. Sebagai perwujudan dari rasa dan semangat kebangsaan yang melahirkan bangsa Indonesia. Akan tetapi situasi dan suasana lingkungan yang terus berubah sejalan dengan proses perkembangan kehidupan bangsa dari waktu ke waktu. Wawasan Kebangsaan atau Wawasan Nasional Indonesia harus senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perkembagan dan berbagai bentuk implementasinya.

Memahami serta mempedomani secara baik ajaran yang terkandung di dalam konsepsi Wawasan Kebangsaan atau Wawasan Nasional Indonesia akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan dari setiap warga bangsa tentang posisi dan peran masing-masing ditengah-tengah masyarakat yang serba majemuk. Hal ini berarti suasana kondisi yang mendorong perkembangan setiap individu sehingga terwujud ketahanan pribadi dapat menciptakan suatu ketahanan nasional Indonesia. 

Mengapa Wawasan Kebangsaan Harus Ada?
Wawasan Kebangsaan adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.

Wawasan Kebangsaan sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. Sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. 

Landasan Wawasan Kebangsaan
· Idiil => Pancasila
· Konstitusional => UUD 1945

Unsur Dasar Wawasan Kebangsaan
· Wadah (Contour)

Wadah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara meliputi seluruh wilayah Indonesia yang memiliki sifat serba nusantara dengan kekayaan alam dan penduduk serta aneka ragam budaya. Bangsa Indonesia memiliki organisasi kenegaraan yang merupakan wadah berbagai kegiatan kenegaraan dalam wujud supra struktur politik dan wadah dalam kehidupan bermasyarakat adalah berbagai kelembagaan dalam wujud infra struktur politik.

· Isi (Content)
Adalah aspirasi bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-cita serta tujuan nasional.

· Tata laku (Conduct)
Hasil interaksi antara wadah dan isi wasantara yang terdiri dari :

Tata laku Bathiniah yaitu mencerminkan jiwa, semangat dan mentalitas yang baik dari bangsa Indonesia. 
Tata laku Lahiriah yaitu tercermin dalam tindakan, perbuatan dan perilaku dari bangsa Indonesia. 

Kedua tata laku tersebut mencerminkan identitas jati diri/kepribadian bangsa berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan yang memiliki rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan tanah air sehingga menimbulkan rasa nasionalisme yang tinggi dalam semua aspek kehidupan nasional.

Hakekat Wawasan Kebangsaan
Adalah keutuhan nusantara/nasional, dalam pengertian cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional.

Berarti setiap warga bangsa dan aparatur negara harus berfikir, bersikap dan bertindak secara utuh menyeluruh dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa termasuk produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga negara.

Asas Wawasan Kebangsaan
Merupakan ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dipelihara dan diciptakan agar terwujud demi tetap taat dan setianya komponen/unsur pembentuk bangsa Indonesia(suku/golongan) terhadap kesepakatan (commitment) bersama. Asas wasantara terdiri dari:
1. Kepentingan/Tujuan yang sama
2. Keadilan
3. Kejujuran
4. Solidaritas
5. Kerjasama
6. Kesetiaan terhadap kesepakatan

Arah Pandang Wawasan Kebangsaan
Dengan latar belakang budaya, sejarah serta kondisi dan konstelasi geografi serta memperhatikan perkembangan lingkungan strategis, maka arah pandang wawasan kebangsaan meliputi:

Arah Pandang Kedalam
Bangsa Indonesia harus peka dan berusaha mencegah dan mengatasi sedini mungkin faktor-faktor penyebab timbulnya disintegrasi bangsa dan mengupayakan tetap terbina dan terpeliharanya persatuan dan kesatuan.

Tujuannya adalah menjamin terwujudnya persatuan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional baik aspek alamiah maupun aspek sosial.

Arah Pandang Keluar
Bangsa Indonesia dalam semua aspek kehidupan internasional harus berusaha untuk mengamankan kepentingan nasional dalam semua aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan demi tercapainya tujuan nasional.

Tujuannya adalah menjamin kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Wawasan Kebangsaan
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Wawasan Kebangsaan yaitu
1. Wilayah.
2. Geopolitik dan Geostrategi.
3. Perkembangan wilayah Indonesia dan dasar hukumnya.

1. Wilayah ( Geografi )
a. Asas Kepulauan ( Archipelago )
Kata ‘Archipelago’ dan ‘Archipelagic’ berasal dari italia yaitu ‘Archipelagos’, kata ‘archi’ yakni terpenting dan kata ‘pelagos’ berarti laut atau wilayah lautan. jadi dapat disimpulkan bahwa archipelago adalah lautan terpenting. Lahirnya asas archipelago mengandung pengertian bahwa pulau-pulau tersebut selalu dalam kesatuan utuh semaentara tempat perairanatau lautan antara pulau-pulau berfungsi sebagai penghubung dan bukan sebagai unsur pemisah.

b. Kepulauan Indonesia
Wilayah Indische Archipel yang dikuasai Belanda dinamakan Nederandsch OostIndishe Archipelago. Itulah wilayah jajahan Belanda yang kemudian menjadi wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai sebutan untuk kepulauan ini sudah banyak nama yang dipakai yaitu ‘Hindia Timur’, ‘Insulinde’ oleh Multatuli, ‘Nusantara’,‘Indonesia’, ‘Hindia Belanda (Nederlandsch-indie)’ pada masa penjajahan Belanda. Nama Indonesia mengandung arti yang tepat, yaitu kepulauan India. Dalam bahasa Yunani, ‘Indo’ berarti India dan ‘nesos’ berarti pulau.

Sebutan ‘Indonesia’ merupakan ciptaan ilmuwan J.R Logan dalam Journal of The Indian Archipelago And East Asia (1850). Maka pada awal abad ke-20 perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda menyebut dirinya sebagai ‘Perhimpunan Indonesia’. Berikutnya pada peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28-10-1928 kata Indonesia di pakai sebagai sebutan bagi bangsa, tanah air dan bahasa. Kemudian dipertegas lagi pada proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi nam resmi negara dan bangsa Indonesia sampai sekarang.

c. Konsep Tentang Wilayah Lautan
Dalam perkembangan hukum laut internasional dikenal beberapa konsep mengenai kepemilikan dan kepemilikan wilayah laut, yaitu Res Cimmunis menyatakan bahwa laut itu adalah milik masyarakat dunia karena tidak dapat dimiliki oleh masing – masing Negara.

Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau – pulau yang lain. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya. LautTeritorial adalah satu wilayah laut yang lebarnya tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal, sedangkan garis pangkal adalah garis air surutterendah sepanjangpantai. 

d. Karakteristik Wilayah Nusantara
Kepulauan Indonesia terletak pada batas astronomi sebagai berikut:
Utara : ± 6°08’LU
Selatan : ± 11°15’LS
Barat : ± 94°45’BT
Timur : ± 141°05’ BT

Luas wilayah Indonesia seluruhnya adalah 5.193.250 km², yang terdiri dari daratan seluas 2.027.087 km² dan perairan seluas 3.166.163 km².

2. Geopolitik dan Geostrategi
a. Geopolitik
Geografi mempelajari fenomena geografi dari aspek politik, sedangkan geopolitik mempelajari fenomena politik dari aspek geografi. Geopolitik menjelaskan dasar pertimbangan dalam menentukan alternatif kebijakan nasional untuk mewujudkan tujuan tertentu.

b. Geostrategi
Geostrategi adalah politik dalam pelaksanaan, yaitu upaya bagaimana mencapaitujuan atau sasaran yang ditetapkan sesuai dengan keinginan keinginan politik.Sebagai contoh pertimbangan geostrategis untuk negara dan bangsa.
· Geografi : wilayah Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia; serta diantara samudra Pasifik dan samudra Hindia.
· Demografi : penduduk Indonesia terletak di antara penduduk jarang di selatan (Australia) dan penduduk padat di utara (RRC dan Jepang)
· Ideologi : ideologi Indonesia (Pancasila) terletak di antara liberalisme di selatan( Australia dan Selandia Baru) dan komunisme di utara ( RRC, Vietnam dan KoreaUtara).
· Politik : Demokrasi Pancasila terletak di antara demokrasi liberal di selatan dan demokrasi rakyat ( diktatur proletar) di utara.
· Ekonomi : Ekonomi Indonesia terletak di antara ekonomi Kapitalis dan selatan Sosialis di utara.
· Sosial : Masyarakat Indonesia terletak di antara masyarakat individualisme di selatan dan masyarakat sosialisme di utara.
· Budaya : Budaya Indonesia terletak di antara budaya Barat di selatan danbudaya Timur di utara.

3. Perkembangan Wilayah Indonesia dan Dasar Hukumnya
· Sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 13 Desember 1957
Pada masa tersebut wilayah Negara Republik Indonesia bertumpu pada wilayah daratan pulau-pulau yang saling terpisah oleh perairan atau selat di antara pulau-pulauitu. Wilayah laut teritorial masih sangat sedikit karena untuk setiap pulau hanya ditambah perairan sejauh 3 mil di sekelilingnya.

Kedudukan Wawasan Kebangsaan
Wawasan Kebangsaan merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat dengan tujuan agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam rangka mencapai dan mewujudkan tujuan nasional.

Wawasan Kebangsaan dalam paradigma nasional dapat dilihat dari hirarkhi paradigma nasional sbb:
  • Pancasila (dasar negara) => Landasan Idiil 
  • UUD 1945 (Konstitusi negara) => Landasan Konstitusional 
  • Wasantara (Visi bangsa) => Landasan Visional 
  • Ketahanan Nasional (KonsepsiBangsa) => Landasan Konsepsional 
  • GBHN (Kebijaksanaan Dasar Bangsa) => Landasan Operasional 
Fungsi Wawasan Kebangsaan
Sebagai pedoman, motivasi, dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan dan perbuatan, baik bagi penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.

Tujuan Wawasan Kebangsaan adalah mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala bidang dari rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan orang perorangan, kelompok, golongan, suku bangsa/daerah.

Implementasi Wawasan Kebangsaan
Penerapan Wawasan Kebangsaan harus tercermin pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan negara.

Wawasan Kebangsaan sebagai Pancaran Falsafah Pancasila
Wawasan kebangsaan menjadi pedoman bagi upayamewujudkan kesatuan aspek kehidupan nasional untuk menjamin kesatuan, persatuandan keutuhan bangsa, serta upaya untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia.

Wawasan Kebangsaan dalam Pembangunan Nasional
o Implementasi dalam kehidupan politik
Adalah menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis, mewujudkan pemerintahan yang kuat, aspiratif, dipercaya.

o Implementasi dalam kehidupan Ekonomi
Adalah menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata dan adil.

o Implementasi dalam kehidupan Sosial Budaya
Adalah menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima dan menghormati segala bentuk perbedaan sebagai kenyataan yang hidup disekitarnya dan merupakan karunia sang pencipta.

o Implementasi dalam kehidupan Pertahanan Keamanan
Adalah menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan membentuk sikap bela negara pada setiap WNI

Keberhasilan Implementasi Wawasan Kebangsaan
Diperlukan kesadaran Warga Negara Indonesia untuk :
  • Mengerti, memahami, menghayati tentang hak dan kewajiban warganegara serta hubungan warganegara dengan negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia. 
  • Mengerti, memahami, menghayati tentang bangsa yang telah menegara, bahwa dalam menyelenggarakan kehidupan memerlukan konsepsi wawasan kebangsaan sehingga sadar sebagai warga negara yang memiliki cara pandang. 
Agar ke-2 hal dapat terwujud diperlukan sosialisasi dengan program yang teratur, terjadwal dan terarah.
Tantangan Kedepan Bangsa Indonesia
Menghadapi era globalisasi ekonomi, ancaman bahaya laten terorisme, komunisme dan fundamentalisme merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Disamping itu yang patut diwaspadai adalah pengelompokan suku bangsa di Indonesia yang kini semakin kuat. Ketika bangsa ini kembali dicoba oleh pengaruh asing untuk dikotak kotakan tidak saja oleh konflik vertikal tetapi juga oleh pandangan terhadap KeTuhanan Yang Maha Esa.

Pemahaman Nasionalisme yang berkurang
Di saat negara membutuhkan soliditas dan persatuan hingga sikap gotong royong, sebagian kecil masyarakat terutama justru yang ada di perkotaan justru lebih mengutamakan kelompoknya, golongannya bahkan negara lain dibandingkan kepentingan negaranya. Untuk itu sebaiknya setiap komponen masyarakat saling berinterospeksi diri untuk dikemudian bersatu bahu membahu membawa bangsa ini dari keterpurukan dan krisis multidimensi.

Sosialisasi Wawasan Kebangsaan
a. Menurut sifat/cara penyampaian
langsung => ceramah,diskusi,tatap muka 
tidak langsung => media massa 

b. Menurut metode penyampaian
Ketauladanan 
Edukasi 
Komunikasi dan integrasi 

Materi Wasasan Kebangsaan disesuaikan dengan tingkat dan macam pendidikan serta lingkungannya supaya bisa dimengerti dan dipahami.

Wawasan Kebangsaan Bangsa Indonesia Dalam Mencapai Cita-Cita Nasional
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara keanekaragaman (pendapat,kepercayaan,dsb) memerlukan suatu perekat agar bangsa yang bersangkutan dapat bersatu guna memelihara keutuhan negaranya. Suatu bangsa dalam menyelengarakan kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya, yang didasarkan atas hubungan timbal balik antara filosofi bangsa, idiologi, aspirasi, dan cita-cita yang dihadapkan pada kondisi sosial masyarakat, budaya dan tradisi, keadaan alam dan wilayah serta pengalaman sejarah. Upaya pemerintah dan rakyat menyelengarakan kehidupannya, memerlukan suatu konsepsi yang berupa Wawasan Nasional yang dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati diri.

Kehidupan negara senantiasa dipengaruhi perkembangan lingkungan strategik sehinga wawasan harus mampu memberi inspirasi pada suatu bangsa dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan yang ditimbulkan dalam mengejar kejayaanya. Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan ada tiga faktor penentu utama yang harus diperhatikan oleh suatu bangsa :
1. Bumi atau ruang dimana bangsa itu hidup
2. Jiwa, tekad dan semangat manusia / rakyat
3. Lingkungan

Apa sih Cita-Cita Bangsa Indonesia?
Cita-cita bangsa Indonesia sangat sederhana. Bangsa Indonesia hanya ingin mewujudkan suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita-cita bangsa Indonesia itu diformulasikan dengan baik dalam alinea ke-2 Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945. Formulasi itu berbunyi : ” Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur “.

Selain itu, Tujuan Nasional Bangsa Indonesia Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 :
  • Membentuk suatu pemerintahan Negara Republike Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia 
  • Memajukan kesejahteraan umum / bersama 
  • Mencerdaskan kehidupan bangsa 
  • Ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial. 
Hubungan Wawasan Kebangsaan dan Ketahanan Nasional
Dalam penyelenggaraan kehidupan nasional agar tetap mengarah padapencapaian tujuan nasional diperlukan suatu landasan dan pedoman yang kokohberupa konsepsi wawasan kebangsaan untuk mewujudkan aspirasi bangsa sertakepentingan dan tujuan nasional.

Wawasan nasional bangsa Indonesia adalah wawasan nusantara yang merupakan pedoman bagi proses pembangunan nasionalmenuju tujuan nasional. sedangkan ketahanan nasional merupakan kondisi yang harusdiwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat berjalan dengansukses. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa wawasan kebangsaan dan Ketahanan Nasional merupakan dua konsepsi dasar yang saling mendukung sebagai pedomanbagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara agar tetap jaya danberkembang seterusnya.

Selengkapnya