Masalah Publik Dan Administrasi Publik

Masalah Publik Dan Administrasi Publik : Ada dua utas benang merah yang menjadi pengikat setiap bab dalam buku ini. Pertama, pemahaman tentang masalah publik dan administrasi publik. Kedua, indikasi hipotetik tentang hilangnya konsep publik dari pemikiran dan praktek administrasi publik di Indonesia. Oleh karena itu, sebagai bab pendahuluan, bagian ini akan membahas lebih lanjut mengenai dua utas benang merah tersebut dengan meliputi empat persoalan strategis sebagai titik berangkat. Pertama, apa yang dimaksud dengan masalah publik? Kedua, apa relevansi kajian tentang masalah publik bagi studi administrasi publik? Ketiga, mengapa konsep publik hilang dari pemikiran dan praktek administrasi publik di Indonesia? Keempat, bab ini ditutup dengan bahasan tentang lingkup, pendekatan dan review singkat tentang topik-topik pilihan sebagai ilustrasi empirik tentang kompleksitas masalah publik. Sedangkan dari mana revitalisasi konsep publik harus dimulai, dibahas dibahas lebih rinci dalam bab penutup buku ini, yaitu Bab Tujuh.

Tentang Masalah Publik
Dalam pengertian sehari-hari kata masalah mempunyai konotasi negatif yang mengacu pada tiga keadaan. Pertama, keadaan di mana terdapat ketidak-sesuaian (discrepancy) antara harapan (expectation) dengan kenyataan (reality). Kedua, keadaan di mana terdapat hambatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ketiga, keadaan di mana terdapat penyimpangan terhadap apa yang dianggap normal. Dalam tulisan ini, kata masalah digunakan dengan konotasi akademik yang agak berbeda dengan pengertian di atas. Pertama, sebagai padanan dari kata kata issue, yaitu suatu bahan pembicaraan atau kajian. Kedua, sebagai topik, yaitu suatu gagasan utama (main idea) dari suatu kajian atau penelitian ilmiah. Ketiga, sebagai suatu persoalan, yaitu kenyataan yang dianggap tidak sesuai dengan harapan, atau hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, atau sebagai penyimpangan dari apa yang dianggap normal. Dengan demikian pengertian masalah dalam tulisan ini mencakup, baik dimensi teoritik maupun dimensi praktik yang digunakan sehari-hari. Dengan demikian dapat dirumuskan, bahwa masalah adalah suatu issue yang dapat menjadi gagasan utama dalam suatu penelitian atau suatu kajian ilmiah dan merupakan persoalan yang memerlukan penyelesaian.

Untuk memahami pengertian masalah publik lebih lanjut, di sini akan dibahas pengertian kata publik sebagai pembeda utama dari masalah-masalah lain. Jika ditelusuri secara etimologis, kata publik merupakan terjemahan langsung dari kata public dalam bahasa Inggeris yang berakar pada dua sumber. Pertama, dari bahasa Yunani pubes, yang berarti kedewasaan, baik kedewasaan yang bersifat fisikal, emosional maupun intelektual. Dalam psikologi perkembangan anak, dikenal ada masa puber yang dimengerti sebagai suatu tahap kehidupan sosial seorang manusia, yaitu masa transisi dari seorang anak menjadi seorang manusia dewasa. Secara biologis, dalam masa ini seorang anak mengalami perubahan fisik substantif sebagai akibat aktifnya hormon reproduksi dalam tubuh. Secara sosial, dalam fase ini seorang anak mengalami perubahan orientasi diri dari yang cenderung menempatkan dirinya sebagai pusat (sefl-centered individual) menjadi seorang dewasa yang mampu memandang dan memahami diri di tengah orang-orang lain di luar dirinya. 

Ketika seorang anak berbicara tentang dan memahami kata ibu, biasanya itu berarti berbicara tentang ibu-ku. Demikian pula ketika berbicara tentang rumah, yang nyata untuknya adalah rumah-ku, atau berbicara tentang mobil yang ada dalam benaknya adalah mobil-ku, atau paling jauh mobil ayah-ku. Hal itu disebabkan karena seorang anak pengalamannya masih masih terbatas dan belum mampu berfikir abstrak. Dalam masa puber, seorang anak mulai memahami diri dan kepentingannya di tengah diri dan kepentingan orang lain, serta mulai memahami akibat tindakannya terhadap orang lain dan sebaliknya. Dari pemahaman ini, kata public mengandung konotasi sebagai kemampuan berfikir dan bertindak secara dewasa. Secara terbalik dapat juga dirumuskan, bahwa hanya orang yang dewasa secara fisikal, emosional, intelektual dan sosial yang mempunyai kemampuan bertindak secara publik. Dalam hal bertindak secara publik, dapat berlaku kata-kata bijak yang sudah dekat dengan telinga, menjadi tua adalah proses alamiah, namun menjadi dewasa adalah pilihan yang memerlukan perjuangan. Hal ini dapat juga berarti bahwa, tidak semua pejabat publik dengan sendirinya mempunyai kemampuan untuk bertindak secara publik termasuk mereka yang merasa terpanggil untuk menjalankan tugas pelayanan publik.

Kembali pada pemahaman etimologis, kata lain yang juga memberi makna pada kata publik, adalah kata koinon yang juga berasal dari bahasa Yunani dan diadopsi ke dalam bahasa Inggeris menjadi common. Kata ini di dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan kata umum, seperti dalam istilah kendaraan umum, jalan umum, telefon umum, dan toilet umum. Berdasar pada dua sumber etimologis di atas, dalam kamus bahasa Inggris dapat ditemukan dalam dua bentuk kata public. Sebagai kata benda, istilah the public menunjuk pada “the community in general” atau “part of the community having a particular interest in common.” Sebagai kata sifat, istilah public berarti “of, for, connected with, owned by, done for or done by, known to, people in general.”(Hornby, Cowie and Gimson; 1974). Dengan demikian, masalah publik dalam buku ini didefinisikan sebagai suatu issue yang menarik perhatian dan menyangkut hajat hidup orang banyak, yang dapat dijadikan sebagai gagasan utama dalam suatu kajian atau penelitian ilmiah dan merupakan persoalan yang memerlukan penyelesaian atau intervensi, baik yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan (policies), maupun oleh anggota masyarakat dalam bentuk tindakan bersama (collective actions).

Tentang Administrasi Publik
Sebagai disiplin ilmu, administrasi publik merupakan sebuah disiplin eklektif yang banyak meminjam perangkat analisis dari bidang ilmu lain, baik paradigma yang digunakannya, konsep dan penjelasan teoritiknya, ruang lingkup dan metodologinya, maupun obyek studi yang menjadi pusat perhatiannya. Oleh karena itu tidak heran jika para penstudi administrasi publik sendiri, tidak betul-betul bersepakat pandang mengenai definisi bidang ilmu yang mereka geluti. Sejak Woodrow Wilson (1887) mengajukan pemisahan ilmu administrasi dari ilmu politik yang dikenal dengan dikotomi politik-administrasi, disiplin administrasi publik mengalami pergeseran paradigmatik secara dinamis dan menerus. Paradigma dikotomi politik-administrasi, yang juga didukung oleh Frank J.Goodnow (1900) melalui bukunya Politics Administration, pada dasarnya membagi dua fungsi pemerintah yang berbeda, yaitu politik yang merupakan kebijakan atau ekspresi keinginan pemerintah dan administrasi yang berupa pelaksanaan kebijakan tersebut. Dasar pembedaan tersebut adalah pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Legitimasi terhadap bidang administrasi publik mulai terlihat dalam tulisan White (1926) Introduction to the Study of Public Administration yang membahas administrasi publik secara khusus. Paradigma ini mendominasi pemikiran tentang administrasi publik antara tahun 1900 s/d 1926.

Puncak reputasi administrasi publik sebagai disiplin baru, ditandai oleh terbitnya buku Willoughby (1927), Principles of Public Administration yang tidak lagi mempermasalahkan lokus administrasi publik, namun mengklaim bahwa prinsip-prinsip administrasi dapat diterapkan dalam seting administrasi apapun tanpa membedakan budaya, fungsi, lingkungan, misi, atau kerangka institusionalnya. Gulick dan Urwick (1937) melalui tulisan mereka, Papers on the Science of Administration, mengukuhkan klaim administrasi publik sebagai disiplin yang independen dengan memandang, bahwa fokus administrasi publik lebih penting daripada lokus. Periode tahun 1938-1947 merupakan periode menantang untuk disiplin administrasi publik, karena kemandiriannya sebagai suatu disiplin yang terpisah dari ilmu politik dan hukum, dipertanyakan kembali (Barnard, 1938; Dahl; 1947; dan Waldo,1948).

Sejak itu, pendulum paradigma administrasi publik kembali bergerak ke pangkuan induknya, menjadi bagian ilmu politik. Hal tersebut berlangsung sampai dengan awal tahun 70-an. Pada periode ini terjadi pembaharuan dan penegasan tentang definisi lokus administrasi publik, birokrasi pemerintah, namun semakin menghilangnya fokus. Administrasi publik kembali kehilangan identitasnya sebagai disiplin yang mandiri, bahkan tahun 1960-an administrasi publik diperlakukan sebagai illegal aliens di beberapa fakultas ilmu politik di Amerika Serikat. Administrasi publik pernah bergerak kearah dan diwarnai oleh ilmu manajemen (1956-1970), bahkan pada pertengahan tahun 60-an teori organisasi sempat menjadi fokus administrasi publik. Pendirian School of Business and Public Administration di Cornell University, Ithaca, NY, merupakan salah satu tonggak akademik berjayanya paradigma ini. 

Perjuangan para pendukung administrasi publik untuk mencari identitas yang jelas sebagai sebuah disiplin ilmu masih terus berlangsung sampai saat ini. Di Amerika Serikat kepercayaan diri para pendukung administrasi publik muncul dengan berdirinya National Association of Schools of Public Affairs and Administration (NASPAA). Meski pemahaman dan rumusan-rumusan definisi administrasi publik setelah tahun 70-an masih diwarnai dengan warna ilmu politik, namun usaha pencarian identitas mandiri juga sangat tampak. Nicholas Henry (1975) misalnya, merumuskan identitas tersebut sebagai berikut:

“Public administration differs from political science in its emphasis on bureaucratic structure and behavior and in its methodologies. Public administration differs from administrative science in the evaluative techniques used by nonprofit organizations, and because profit-seeking organizations are considerably less constrained in considering the public interest in their decision-making structures and the behavior of their administrators.” 

(Administrasi publik berbeda dengan ilmu politik dalam penekanannya terhadap sikap dan struktur birokratik dan dalam metodologinya. Administrasi publik berbeda dari ilmu administrasi dalam teknik evaluatif yang digunakan oleh organisasi nirlaba, dan karena organisasi pencari-laba tidak begitu memperhatikan/mempertimbangkan kepentingan publik dalam struktur pengambilan keputusan mereka dan sikap dari administrator mereka).

Di lihat dari satu sisi, pergeseran paradigmatik secara dinamik dapat dianggap sebagai sebuah kelemahan mendasar dan merupakan kesia-siaan. Berbicara tentang administrasi publik dari sisi akademik ibarat membicarakan seekor kucing hitam yang tidak ada di tengah pekatnya malam. Dilihat dari sisi lain yang lebih positif, eklektisisme dan dinamika paradigmatik administrasi publik adalah sebuah kekuatan utama. Sebuah disiplin ilmu, layaknya entitas sistem terbuka yang lain, mengalami perkembangan substantif melalui dan dalam keterbukaan dan interaksinya dengan lingkungan. Meminjam perangkat analisis dari bidang lain dapat dipandang bukan tanda sebuah kemiskinan, melainkan justru simbol dari kekayaan, bahkan pergeseran paradigmatik sepanjang sejarah administrasi publik, dapat dipandang sebagai sebuah dinamika konstruktif. Tidak semua penstudi administrasi publik merasa perlu untuk mendefinisikannya. Mosher misalnya, menyatakan:

“…Perhaps it is best that it [public administration] not be defined. It is more an area of interest than a discipline, more a focus than a separate science … It is necessarily cross-disciplinary. The overlapping and vague boundaries should be viewed as a resource, even though they are irritating to some orderly minds” 

(Mungkin justru lebih baik bila administrasi publik itu tidak perlu didefinisikan secara khusus. Administrasi publik lebih merupakan suatu bidang minat daripada suatu disiplin, lebih merupakan fokus daripada suatu ilmu tersendiri. Bahkan administrasi publik perlu menjadi lintas disiplin. Tumpang tindih dan batasan yang kabur harus dilihat sebagai kekuatan, walaupun mungkin mengganggu bagi beberapa pemikiran baku).

Buku ini mengambil posisi bersepakat dengan mereka yang berpandangan positif dan konstruktif tentang administrasi publik sebagai sebuah disiplin yang perlu memiliki identitas dan fokus yang jelas. Hal ini sangat diperlukan, terutama dalam usaha membangun pengetahuan yang valid, yang dapat diterapkan dalam dunia praksis. Salah satu pembeda utama yang khas dan sangat kuat dari disiplin administrasi publik dibanding dengan disiplin ilmu lain adalah karakter ke-publik-annya (publicness). Oleh karena itu ruang lingkup disiplin administrasi publik meliputi, pembuatan kebijakan untuk mengatur kepentingan publik, implementasi kebijakan publik dengan segala strategi pelaksanaannya, dan pelayanan publik sebagai satu-satunya alasan sah (reason d’etre) bagi eksistensi administrasi publik, baik sebagai ilmu apalagi sebagai seni untuk melayani. Konsekuensi logis dari menjadikan publicness sebagai karakter utama disiplin administrasi publik adalah perlunya pemahaman mendalam dan meluas tentang berbagai masalah publik seperti yang telah dirumuskan definisinya di bagian awal bab ini. Di sini pulalah kajian tentang masalah publik, menemukan relevansinya dalam studi administrasi publik.

Seiring dengan semangat jaman, dunia modern diliputi banyak paradoks. Demikian pula halnya dalam bidang administrasi publik. Di satu sisi, dunia modern membutuhkan negara yang kuat dan otonom yang memiliki kemampuan untuk melayani dan menjaga hak-hak warganya. Di sisi yang lain, dunia modern juga merupakan ibu kandung bagi lahir dan berkembangnya kembali konsep masyarakat warga (civil society). Masyarakat yang sadar, tidak hanya akan kewajiban-kewajibannya, tetapi juga sadar akan hak-hak kewarga-negaraannya. Di dalam paradoks itulah disiplin administrasi publik modern menemukan jati diri dan panggilannya, di satu sisi menjadi ujung tombak negara dalam mewujudkan pengelolaan yang baik (good governance), dan di sisi yang lain menjadi tumpuan warga dalam menyelenggarakan pelayanan publik (Dwianto, 2006). Dalam konteks inilah kajian terhadap masalah-masalah publik, sekali lagi menemukan relevansinya dalam studi administrasi publik modern, khususnya di Indonesia.

Administrasi publik modern yang berkembang saat ini, baik di tingkat teori maupun praksis, dibangun dengan berlandaskan pada jaringan-jaringan vertikal dan horizontal dari berbagai tipe organisasi publik, yang terdiri dari lembaga pemerintah (government), lembaga non-pemerintah (NGOs), dan semi-pemerintah (quasi-governmental organizations), baik yang bersifat profit-oriented, non-profit oriented, maupun organisasi yang bersifat sukarela (voluntary organizations). Setiap warga negara berpartisipasi dalam kehidupan publik dengan melalui berbagai cara dan bidang kehidupan. Oleh karena itu, nilai atau jiwa utama dari administrasi publik modern secara umum berusaha untuk mencakup pemahaman tentang komitmen publik, dan secara khusus berusaha memberi tanggapan (responses) terhadap kepentingan masing-masing individu warga negara dan kelompok-kelompok warga negara. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa administrasi publik modern mengakomodasi konsep publik dalam arti yang amat luas. Publik tidak hanya diasosiasikan dengan pemerintahan, karena pemerintahan hanyalah salah satu aspek dari publik itu sendiri. Paradigma terakhir inilah yang ingin diusulkan oleh penulis buku ini sebagai paradigma masyarakat warga atau virtuous citizen paradigm.

Tentang Hilangnya Konsep Publik
Dalam kosa kata Indonesia, konsep publik juga muncul dengan dua konotasi. Pertama, kata publik diartikan sebagai negara atau pemerintah seperti dalam terjemahan langsung kata public administration menjadi administrasi negara. Kedua, kata publik sebagai padanan dari kata umum atau masyarakat seperti dapat ditemui dalam kata telefon umum (public telephones), angkutan umum (public transportation), dan kesehatan masyarakat (public health). Dalam pembicaraan sehari-hari, orang awam lebih mengenal kata publik dalam arti yang kedua. Bahkan kamus umum bahasa Inggeris-Indonesia terbitan Cornell yang ditulis oleh Hassan Sadily, hanya memuat kata publik dalam pengertian yang ke dua, ”yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan orang banyak.” Ironisnya, dalam kosa kata para akademisi dan praktisi administrasi publik di Indonesia, istilah public administration sudah sangat lama sekali diterjemahkan dengan administrasi negara, istilah administrasi publik baru muncul kembali setelah reformasi. Secara teoritik, hal itu menjelaskan bahwa paham pemikiran administrasi publik yang berkembang di Indonesia lebih diwarnai oleh dominasi pemikiran ilmu politik yang memandang negara sebagai wujud kedaulatan umum atau rakyat yang sah. Secara empirik dapat dijelaskan, bahwa di negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia, praktek administrasi publik diselenggarakan tidak untuk melayani kepentingan publik (baca: warga negara), namun lebih diabdikan kepada kepentingan pemerintah dan negara penjajah.

Dalam kasus Indonesia, sejarah perjalanan bangsa menunjukkan hal itu secara nyata. Ketika Belanda berkuasa, administrasi publik diabdikan terutama untuk menjaga dan melayani kepentingan pemerintah dan warga Belanda. Kepentingan warga inlander, hanya disentuh melalui implementasi politik etis yang sangat terbatas. Pada jaman Jepang, administrasi publik diabdikan untuk kepentingan perang, bahkan kepentingan publik dalam arti rakyat hampir tidak dikenal. Di masa Indonesia merdeka di bawah pemerintahan Soekarno, administrasi publik lebih diabdikan untuk melakukan konsolidasi politik dan pembangunan negara bangsa yang berpusat di Jakarta. Jaman pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, administrasi publik dibangun dan diselenggarakan secara sentralistik untuk menopang pembangunan ekonomi bangsa. Pada masa itu, negara hadir di mana-mana mengurusi urusan setiap warga. Negara tidak hanya ikut campur mengurusi urusan dapur (baca: ekonomi), namun juga sampai ke urusan kasur (baca: keluarga berencana) dengan mengatur alat kontrasepsi apa yang harus dipakai untuk mencegah kehamilan seorang wanita. Untuk kepentingan negara dan pemerintah, tidak ada hak warga negara, bahkan termasuk hak untuk bicara, yang boleh dijalankan tanpa ijin yang diberikan oleh para pejabat negara.

Mundurnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, sekali lagi menandai hancurnya kredibilitas rezim Orde Baru, baik di mata warga negara Indonesia, khususnya mahasiswa, maupun di mata dunia, khususnya Amerika. Di jaman reformasi, empat presiden sudah berganti dan dipilih melalui mekanisme yang relatif demokratis. Setiap warga tidak lagi takut untuk bicara, bahkan untuk urusan yang di masa lalu dianggap sensitif dan membuat seseorang kehilangan nyawa. Namun demikian krisis multi-dimensi, belum juga teratasi. Korupsi makin merajalela, menyebar dari pusat negara ke seluruh wilayah nusantara, sampai mendapat julukan negara terkorup di Asia. Berita tentang kerusuhan di berbagai pelosok tanah air, baik di kota maupun di desa, tidak bisa dicegah apalagi diatasi, karena ada indikasi bahwa polisi tidak punya nyali dan tentara tidak berwibawa. Akhirnya refleksi pun sampai pada pemikiran hipotetik, bahwa hancurnya tatanan sosial, ekonomi, politik, hukum dan moral bangsa Indonesia yang mencuat selama masa reformasi, serta sulitnya bangsa ini keluar dari berbagai masalah, antara lain dapat dijelaskan sebagai akibat dari hilangnya konsep publik, baik dalam pemikiran maupun dalam praktek bermasyarakat dan bernegara selama berpuluh-puluh tahun, lebih khusus lagi sebagai akibat hilangnya konsep publik dari pemikiran dan praktek administrasi publik. 

Terpinggirkannya kepentingan publik terlihat semakin konkrit, ketika para pejabat publik bersama seluruh warga bangsa ini harus berhadapan dengan bencana. Boleh jadi korban terburuk yang dialami dalam setiap bencana, bukan terutama dihasilkan dari gelombang tsunami atau gempa yang terjadi (meskipun itu mencapai ratusan ribu orang), namun lebih banyak lagi sebagai akibat dari tidak adanya kesadaran dan pemahaman publik akan keadaan bahaya. Jumlah korban juga menjadi berlipat karena lemahnya aturan perundang-undangan dan penegakkannya. Rencana tata kota dan wilayah, jika ada, untuk kebanyakan daerah baru menjadi arsip Bappeda. Pengawasan standar mutu bangunan publik belum menjadi tradisi dan bangunan untuk tempat tinggal dibiarkan liar tanpa aturan. Melalui berbagai bencana, tampak betapa rapuhnya dan tidak berdayanya sistem perlindungan bagi warga oleh negara. Konsep publik, sekali lagi terpinggirkan dalam pemikiran dan tidak ditemukan dalam tindakan, baik yang dilakukan oleh para pejabat yang memangku amanat, maupun orang banyak yang disebut rakyat.

Selama itu, setiap orang dan kelompok seolah mendapat tempat terhormat dalam format harmoni kolektif. Namun yang diyakini terjadi adalah, bahwa selama ini setiap orang (termasuk para pejabat negara yang bertugas melayani kepentingan publik) lebih banyak berpikir, berbicara dan bertindak seperti kanak-kanak (baca: hanya fasih berbicara tentang kepentingan diri dan kelompoknya sendiri), lepas dari kepentingan konfigurasi diri dan kepentingan orang lain. Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) sempat membuat pernyataan publik yang menggegerkan, karena mengalamatkan julukan ”taman kanak-kanak” kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat. Usaha penegakan hukum dan proses pengadilan, sebagai contoh, yang seharusnya menjadi tempat setiap warga negara untuk mencari keadilan, telah berubah menjadi alat bagi sekelompok orang (khususnya penguasa dan orang kaya) untuk memelihara dan menyelamatkan kepentingannya. Sumber-sumber alam, seperti air, tanah dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, yang seharusnya dimanfaatkan untuk hajat hidup orang banyak, ternyata sudah lama dikuasai oleh mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan uang, tentu dengan restu dan izin resmi dari penguasa negara. Penguasaan hutan dan pantai pun sudah banyak yang jatuh ke tangan perorangan atau perusahaan secara eksklusif. Semua itu mencerminkan semakin, tidak berdayanya negara sebagai representasi kedaulatan warganya, serta sebagai cermin dari pudar dan termarginalisasinya konsep publik dari kehidupan bersama sebagai bangsa, serta semakin banyak pejabat publik yang kehilangan amanah dan tidak mempunyai kapasitas untuk bertindak secara publik. 

Persoalannya kini adalah, apabila secara teoritik konsep publik merupakan konsep sentral bagi administrasi publik, mengapa konsep tersebut makin terpinggirkan? Dewey (1954), Lippman (1955) dan Mathews (1984) dapat memberi sedikit pencerahan. Dalam filsafat, konsep publik digunakan untuk melakukan pembedaan antara kepentingan pribadi (private) dengan kepentingan umum (public). John Dewey, misalnya, membedakan tindakan publik dengan yang bukan publik dengan mengatakan, bahwa apabila tindakan seseorang atau beberapa orang mempengaruhi kesejahteraan orang lain, maka tindakan tersebut 'memperoleh kapasitas publik'. Bagi Dewey, publik tidak pernah bersifat tetap (fixed), namun selalu dibentuk dan dibentuk ulang, tergantung pada tindakan dan interaksi antar individu. Oleh karena itu pengertian publik dapat saja hilang apabila orang tidak dapat lagi atau tidak ingin lagi mengorganisasikan diri ke dalam suatu komunitas politik untuk perlindungan kepentingan bersama. Dengan kata lain, menurut Dewey, kapasitas publik itu hilang karena individu-individu tidak dapat lagi bertindak sebagai publik.

Sementara itu Walter Lippmann menyatakan, bahwa publik itu hilang sebagai akibat hilangnya filsafat publik. Menurutnya, penekanan yang berlebihan terhadap hak individu mengakibatkan memudarnya tanggungjawab terhadap publik, yang akhirnya menghilangkan konsep publik dalam kehidupan masyarakat kapitalis modern. Hal tersebut mengandung konsekuensi lanjut, bahwa semua keputusan yang diambil semuanya bersifat individual, oleh karenanya hampir seluruh tindakan manusia menjadi lebih bersifat pribadi. Sebagai akibatnya, hal tersebut cenderung meniadakan tanggung jawab terhadap tindakan publik. Sejalan dengan itu, teori politik pada umumnya memberi penjelasan tentang hilangnya konsep publik sebagai akibat adanya penekanan pada kepentingan pribadi (self-interest) yang berlebihan. Penekanan tersebut menjadikan publik hanyalah sebagai alat untuk memerintah dan mengontrol berbagai kepentingan pribadi. Dalam kenyataan juga dapat dibuktikan, bahwa kapasitas individual untuk mencapai hak pribadi cenderung lebih besar dibandingkan dengan kapasitas kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian tidaklah heran apabila konsep publik menjadi makin terpinggirkan ketika suatu masyarakat semakin individualistik. Apabila dilakukan pembedaan antara publik sebagai praktek dan publik sebagai ide, maka menurut David Mathews, ketiadaan pemikiran tentang publik merupakan akibat tiadanya praktek tentang hal tersebut.

Tentang Pendekatan dan Topik-topik Pilihan
Untuk keperluan analisis, istilah masalah publik yang digunakan dalam buku ini merupakan terjemahan langsung dari istilah public affairs yang menjadi pusat perhatian (focus of interest) bidang administrasi publik dalam dekade terakhir ini, baik di negara maju, maupun di negara sedang berkembang. Dalam pengertian demikian, maka kajian terhadap masalah publik mempunyai relevansi tinggi bagi studi administrasi publik terutama dalam merevitalisasi konsep publik yang sudah mulai terpinggirkan dari pemikiran dan terbuang dari kebersamaan. Meski rentang masalah publik hampir tanpa batas, namun dapat diidentifikasi melalui dua wilayah yang membatasi ruang lingkup masalah publik sebagai suatu kajian. Pertama, setiap issue yang menarik perhatian dan menyangkut kepentingan orang banyak (public interests). Kedua, setiap usaha yang bertujuan untuk menyelesaikan setiap persoalan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak tersebut, baik yang dilakukan oleh pemerintah melalui sebuah kebijakan ataupun yang dilakukan oleh anggota masyarakat melalui aksi kolektif. 

Secara metodologis, kajian tentang masalah publik dapat didekati melalui tiga strategi. Pertama, pendekatan fenomenal empirik; yakni suatu usaha untuk mengidentifikasi berbagai fenomena atau peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan atau perhatian orang banyak. Kedua, pendekatan konseptual teoritik; yakni menyangkut persoalan bagaimana suatu fenomena empirik yang berhubungan dengan kepentingan dan perhatian orang banyak tersebut dipahami, dikonseptualisasi dan dijelaskan secara teoritik. Ketiga, pendekatan strategis intervensional; yaitu menyangkut bagaimana persoalan yang menyangkut orang banyak tersebut diintervensi, baik oleh pemerintah melalui kebijakan publik, maupun oleh anggota masyarakat memalui aksi kolektif. Oleh karena itu, ada tiga langkah strategis yang dapat dilakukan dalam meneliti dan mengkaji masalah publik sebagai fokus administrasi publik. Pertama, membuat identifikasi dan klasifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik melalui berbagai penelitian eksploratif. Kedua, melakukan konseptualisasi berbagai fenomena yang telah ditangkap dan berusaha dijelaskan secara teoretik mengapa sesuatu fenomena terjadi, bagaimana proses terjadinya fenomena tersebut., atau bagaimana fenomena yang satu berhubungan dengan yang lain. Ketiga, mencari berbagai alternatif pemecahan masalah dan menetapkan solusi terbaik dengan cara memilih satu atau beberapa alternatif yang paling mungkin dari berbagai alternatif yang tersedia. 

Apabila dilihat secara kategorial horisontal, ruang lingkup masalah publik, terbentang luas hampir meliputi seluruh sendi kehidupan bersama, mulai dari masalah rumah tangga (domestic problems) sampai persoalan pemanasan suhu bumi dan penghematan enerji (global problems), dari urusan mencari sesuap nasi (economics problems) sampai pada urusan hidup surgawi (religious and transcendental problems). Oleh karena itu, setiap kajian terhadap masalah publik membutuhkan wawasan dan kerja sama antar disiplin. Tanpa pendekatan itu, pemahaman terhadap masalah publik akan sangat parsial, yang tidak jarang berakhir dengan kesesatan. Sehubungan dengan itu, teori dan pendekatan berbagai disiplin, seperti sosiologi, antropologi, psikologi sosial; ilmu hukum, ilmu politik, bahkan ilmu-ilmu eksakta seperti aritmatika, statistika dan bahkan geo-teknik, fisika dan hidrolika, dapat sangat membantu dalam memahami berbagai masalah publik. Di titik ini, eklektifitas disiplin administrasi publik menjadi sebuah kekuatan.

Berdasarkan pada pemahaman yang telah dikupas di muka, buku ini menyajikan topik-topik pilihan masalah publik. Hampir semua tulisan tersebut pernah dipublikasi dengan satu dan lain cara dari makalah seminar sampai bagian dari tesis yang pernah dibuat. Namun versi yang dimuat dalam buku ini merupakan versi baru yang sengaja ditulis kembali sebagai usaha untuk memberi ilustrasi tentang, pertama, bagaimana sebuah fenomena, betapapun sederhana dan privat-nya masalah, dapat dilihat secara publik. Kedua, bagaimana sebuah fenomena dapat dijelaskan dan menjelaskan secara teoritik tentang hilangnya konsep publik dari pemikiran dan tindakan para pejabat publik. Ketiga, berdasarkan pemahaman tersebut, bagaimana melakukan intervensi kebijakan. Keempat, di atas semua itu penulis mencoba mengidentifikasi bagaimana konsep publik dapat direvitalisasi.

Topik pertama yang dibahas dalam Bab Dua adalah masalah reformasi, khususnya reformasi politik dan administrasi publik. Sejak digulirkan oleh para mahasiswa, gerakan reformasi tidak saja mampu menurunkan sebuah rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun, tetapi juga telah melahirkan harapan akan lahirnya langit baru dan bumi baru dalam kehidupan politik negeri ini. Namun demikian, pengalaman bangsa-bangsa lain menunjukkan, bahwa reformasi bukan barang jadi yang tuntas dalam sehari. Reformasi adalah sebuah proses panjang yang mempunyai kemungkinan gagal di setiap perhentian. Dalam kasus Indonesia, tantangan awal muncul dari persoalan bagaimana menyelesaikan pertentangan antara kekuatan-kekuatan reformis dan kekuatan-kekuatan yang pro status quo. Tantangan berikutnya yang menghadang adalah bagaimana mengendalikan euforia yang timbul akibat lumpuhnya mekanisme pengendalian sosial dalam masa transisi yang anomik yang menganiaya eksistensi publik. Tantangan ketiga, adalah bagaimana mengkristalkan gerakan reformasi ke dalam sebuah sistem politik yang demokratik dan santun dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan perlindungan optimal bagi seluruh warga negara.

Masalah kedua yang diangkat dalam Bab Tiga buku ini adalah masalah ekonomi. Krisis ekonomi yang bertransformasi menjadi krisis multi-dimensi dan berkepanjangan, mempunyai dampak yang luas dan intens bagi ketahanan hidup, baik bagi warga negara secara individual maupun bagi negara secara institusional. Kompleksitas persoalan yang bermula dari krisis ekonomi, tidak dapat hanya dikonseptualisasi secara ekonomis semata. Bab tiga buku ini membahas masalah tersebut dengan memfokuskan diri pada bagaimana perilaku individu dan institusi-institusi ekonomi bertali-temali dengan, dan bahkan ditentukan oleh institusi-institusi sosial lainnya. Belajar dari pengalaman dan kearifan masa lalu, ternyata jelas, bahwa transaksi-transaksi ekonomi berlangsung di atas relasi-relasi sosial yang ada. Hal ini berlaku, baik di masyarakat tradisional maupun di masyarakat modern. Absennya pemahaman demikian mengenai masalah ekonomi, menyebabkan tiadanya inspirasi khususnya bagi para pejabaat negara untuk membangun ekonomi publik dengan modal (baca: tanpa menghancurkan) tatanan sosial dan kultural yang dimiliki bangsa ini.

Bab Empat dari buku ini membahas tentang masalah religiusitas, agama, dan kebijakan publik. Secara sosiologis agama dipahami tidak saja sebagai sebuah sistem kepercayaan yang berkaitan dengan proses transendensi pengalaman manusia, namun juga sebuah institusi yang mewadahi interaksi sosial, baik antar pemeluk agama yang sama maupun antar individu yang memeluk agama berbeda. Dengan demikian, persoalan-persoalan keberagamaan, meskipun bermula dari sumber yang pribadi, namun dalam ekspresinya tidak saja mempunyai dampak bagi orang secara individual, tetapi juga mempunyai dampak secara publik. Tulisan dalam bab ini mengambil kasus di sebuah desa, Cigugur, tentang bagaimana pemerintah di tiga zaman melakukan intervensi kebijakan terhadap para pemeluk sebuah aliran kepercayaan yang menyebut diri mereka sebagai penganut Agama Djawa Sunda. Dari kasus ini dapat dipelajari, bahwa ketika seseorang termasuk pemerintah beritikad menyelesaikan sebuah masalah yang dianggap publik, yang sering terjadi adalah bahwa intervensi yang dilakukan tidak saja berakhir dengan kegagalan, tetapi bahkan berakhir dengan menimbulkan persoalan baru, yang kadang-kadang lebih besar dari persoalan yang ingin diselesaikan tanpa bertanya kepada mereka yang mengalaminya.

Berikutnya, Bab Lima, membahas konsep perkosaan di dalam rumah tangga. Bagi telinga rata-rata orang yang dibesarkan dalam kultur timur seperti Indonesia, membicarakan masalah ini merupakan hal yang nyaris absurd. Pertama, konsep itu mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri (contradictio in terminis). Kebanyakan bangsa timur memiliki persepsi kultural, bahwa perkawinan adalah institusi sakral. Di dalam institusi perkawinan terkandung sebuah kerelaan yang hampir bersifat magis dari suami dan isteri yang terlibat. Jadi bagaimana bisa terjadi sebuah perkosaan (yang mengandung unsur paksaan apalaagi kekerasan) dalam sakralitas rumah tangga? Persoalan kedua yang membuat konsep ini absurd adalah karena secara tradisional perkawinan bagi kebanyakan bangsa timur bukan sebuah keputusan individual, melainkan sebuah keputusan sosial. Jika seorang laki-laki atau perempuan belum mendapat jodoh sampai usia tertentu, secara sosial mereka menanggung beban. Di kalangan para mahasiswa, yang nota bene sering dianggap kelompok elit perkotaan yang progresif, dikenal juga istilah STMJ (Semester Tujuh Masih Jomblo) untuk mahasiswa dan mahasiswi yang belum punya pacar sebelum lulus. Bab Lima dalam buku ini bertolak dari preskripsi, bahwa hubungan suami dan isteri adalah interaksi yang amat pribadi. Namun jika berkaitan dengan dampak sebuah tindakan bagi orang lain, betapapun pribadinya tindakan itu, dapat dikategorikan sebagai tindakan publik. Bab ini menyajikan perdebatan sensitif yang tidak saja melibatkan isu gender, tetapi juga menyerempet isue doktrin keagamaan. Pertanyaannya, perlukah negara melakukan intervensi terhadap hubungan suami istri melalui sebuah undang-undang? 

Jalan raya adalah cermin kepatuhan sosial sebuah bangsa, demikian kata-kata bijak yang sering terungkap dari mereka yang menyukai perjalanan. Dengan menganalisis perilaku pengendara di jalan raya seseorang dapat mempelajari berbagai aspek kehidupan bermasyarakat penggunanya, bukan saja yang menyangkut aspek ketaatan dan tingkat disiplin, tingkat kesantunan dan penghargaan terhadap orang lain, tetapi juga tingkat kemampuan penegak hukum untuk menindak para pelaku pelanggaran. Perilaku berkendaraan di jalan raya, jelas merupakan tindakan publik yang menuntut tingkat kedewasaan tertentu. Tindakan indisipliner seorang pengemudi, tidak saja dapat berakibat fatal bagi dirinya, tetapi juga dapat membahayakan hidup orang lain. Kenyataan bahwa tata tertib berlalulintas di kota-kota besar Indonesia sangat memprihatinkan serta tingginya tingkat kecelakaan lalulitas setiap tahun, merupakan indikasi dan sekaligus undangan untuk memahami dan mengkaji masalah tersebut secara seksama. Pertanyaannya, bagaimana kepatuhan sosial semacam itu dapat dipahami secara teoritik? Bab Enam buku ini menjelaskan dua perspektif, kolektivisme dan individualisme, serta menyajikan bagaimana membangun kepatuhan sosial melalui pemberdayaan.

Bab terakhir, Bab Tujuh, merupakan kesimpulan penutup buku ini. Secara garis besar bab ini berusaha menarik simpul-simpul teoritik yang terkristal dari lima ilustrasi empirik masalah publik dan bagaimana langkah revitalisasi konsep publik dapat dilakukan. Langkah ini bukan langkah sederhana, karena konsep publik bukanlah konsep yang mempunyai makna tunggal. Dalam wacana ilmu politik dan administrasi publik saja, paling tidak dikenal ada lima perspektif tentang publik. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa revitalisasi konsep publik tidak bisa dilakukan. Ada empat prinsip yang dapat diakomodasi dan dijadikan sebagai titik berangkat, yaitu konstitusi, virtuous citizenship, kepentingan publik dan cinta kasih. Di atas ke empat landasan itulah, seharusnya revitalisasi konsep publik mendapat titik pijak demi terselenggaranya pelayanan publik yang dirindukan.

Share :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar