Islam Dan HAM

Islam Dan HAM : Membicarakan sekaligus mensosisalisasikan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah selalu penting. Ia menjadi semakin penting ketika realitas social kita tengah memperlihatkan wajah-wajah yang tidak lagi menghargai martabat manusia, seperti yang banyak terlihat pada saat ini di banyak tempat di dunia ini, dan lebih khusus lagi di negeri kita tercinta. 

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia dilahirkan. Ia berlaku universal (berlaku bagi semua orang di mana saja dan kapan saja). Hak ini merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mengurangi atau mencabut hak tersebut. Menurut Abed al-Jabiri, istilah al ‘Alamiyyyah atau universal mengandung arti bahwa hak-hak tersebut ada dan berlaku bagi semua orang di mana saja, tanpa membedakan jenis kelamin (laki-laki-perempuan), ras (warna kulit), status sosial (kaya-miskin), dan sebagainya. Oleh sebab itu, HAM tidak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun (la yuatstsir fiha ikhtilaf al-Tsaqafat wa al-Hadharat), melintasi batas ruang dan waktu (ta’lu ‘ala al-Zaman wa al-Tarikh). HAM adalah hak setiap manusia karena dia melekat pada diri manusia (‘ala al-Insan ayyan kana wa anna kana). Mohammad Abed al-Jabiri, al-Dimuqrathiyyah wa Huquq al-Insan, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1997, Cet. Ke-2, h. 145-146).

Islam dan HAM
Pertanyaan yang sering muncul berkaitan dengan isu ini adalah apakah Islam sejalan dengan HAM?. Apakah HAM adalah produk Barat dan dengan missi Barat yang non muslim?.

Sebagai sebuah nama dan istilah, hak-hak asasi manusia (Human Right) adalah istilah yang lahir di Barat. Ia dideklarasikan pada 10 Desember 1948, sesudah melalui proses erdebatan yang sangat panjang. Sepanjang yang dapat diketahui, dalam khazanah klasik Islam (al-Turats al-Islamy), kita tidak pernah menemukan istilah ini, misalnya kalimat : al-Huquq al-Insaniyah al Asasiyah. Namun dewasa ini di dunia Arab-Islam Hak Asasi Manusia Universal tersebut dinamai sebagai “Al-Huquq al-Insaniyah al-Asasiyyah al-Alamiyah”. 

Hal paling utama bukanlah soal nama atau istilah, tetapi substansi dari nama atau istilah tersebut. Bahasa manusia berbeda-beda. Bahasa adalah symbol dari makna yang ada di dalamnya. Ulama mengatakan : “La Masyahhata fi al-Isthilah”. Secara literal ungkapan ini berarti istilah/bahasa tidak pelit. Artinya; 

لا ينبغي أن يمنع أحدٌ أحدًا أن يستعمل اصطلاحا معينا في معنى معين، إذا بين مراده بهذا الاصطلاح،

“tidak seyogyanya seseorang melarang orang lain menggunakan suatu istilah tertentu untuk member makna sesuatu, jika dia menjelaskan maksudnya”.

Dalam tradisi keilmuan klasik Islam sering dijumpai perbedaan ulama dalam menyebut sesuatu untuk mengungkapkan suatu maksud. Padahal maksud mereka sama. Maka dikatakan : “al-Khilaf Lafzhiyyun”, perbedaan mereka hanyalah soal kata/lafal”.

Bukan pula dari mana ia lahir dan berasal, tetapi apa isinya. Manusia hidup dengan budaya, tradisi dan bahasa yang berbeda-beda. Mereka menjadi komunitas dunia yang saling berhubungan dan saling memberi, termasuk dalam menyerap kata dan bahasa.

Inti paling utama dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diketahui adalah penghormatan martabat manusia, kemerdekaan (kebebasan) dan kesetaraan manusia. Jika kita membaca sumber Islam paling otoritatif : al-Qur-an dan sunnah Nabi (hadits), akan banyak kita temukan teks-teks yang menjelaskan tentang inti utama HAM tersebut. Beberapa di antaranya adalah :

Pertama, tentang kehormatan martabat manusia. Al-Qur’an menegaskan :

“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami”.(Q.S. al Isra, 70).

Kedua tentang Kebebasan. Al-Qur'an menyebut manusia sebagai khalifah fi al Ardh. Yakni pemegang amanat Tuhan. (Q.S. al-Baqarah, 2:30, Q.S. al-Ahzab, 33:72). Ini karena manusialah makhluk-Nya yang paling unggul dan dimuliakan di antara makhluk-Nya yang lain. Keunggulan dan kemuliaan manusia atas yang lain itu lebih karena manusia diberikan akal-pikiran. Tidak ada ciptaan Tuhan yang memiliki fasilitas paling canggih ini. Dengan potensi akal pikiran inilah manusia menjadi makhluk yang bebas untuk menentukan sendiri nasibnya di dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Dengan akal-intelektualnya pula manusia menciptakan peradaban dan kebudayaan. Akan tetapi bersamaan dengan itu manusia juga harus menanggung risiko dan bertanggungjawab atas segala tindakannya itu di hadapan Tuhan, kelak. Ini menunjukkan bahwa kebebasan selalu mengandung makna tanggungjawab dan bersifat moral. 

Al-Qur’an juga menyatakan :”La Ikrah fi al-Din” (tidak ada paksaan dalam agama). Ini adalah pernyataan paling eksplisit tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, sekaligus larangan memaksakan kehendak keyakinan agama terhadap orang lain. Bahkan Nabi sekalipun tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya. Kewajiban Nabi hanyalah menyampaikan peringatan : "Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (Q.S. al-Ghasyiyah, [88: 21-22]. Keyakinan adalah milik Tuhan semata. Dalam teks Islam disebut sebagai "hidayah" (petunjuk/anugerah Tuhan). Hidayah menurut al Qur'an hanya milik Tuhan: "Kamu (Muhammad) tidak bisa memberikan petunjuk sekalipun terhadap orang yang kamu cintai (agar dia mengikuti keyakinanmu). Tuhanlah satu-satunya yang memberikan petunjuk itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya".(Q.S. al-Qashash, 56).

Umar bin Khattab, khalifah kedua, mengingatkan seorang putra Gubernur Mesir yang memukul seorang petani miskin dengan mengatakan : “Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal Ibunya melahirkan dia dalam keadaan merdeka”. 

Ketiga tentang kesetaraan manusia. Al-Qur-an menyatakan : “Wahai manusia Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa kepada-Nya”.(Q.S. al-Hujurat, 13).

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri (entitas) yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.(Q.S. al Nisa, 1)

Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai hal ini dinyatakan dalam al-Qur-an surah al Ahzab, 35 : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuanyang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memlihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyedikan ampunan dan pahala yang besar”. Demikian juga dalam al-Nahl, 97, Ali Imran, 195, al-Mukmin 40, dan lain-lain.

Doktrin egalitarianisme (al-musawah) Islam di atas juga dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu sabdanya beliau mengatakan : “Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan”. Sabda beliau yang lain : “Sungguh, Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan wajahmu melainkan pada tingkahlaku dan hatimu”. Dan “Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki”.

Beberapa ayat al-Qur’an di atas dan masih banyak lagi ayat yang lain menjelaskan tentang kemuliaan martabat manusia, kebebasan dan kesetaraan manusia tanpa melihat latarbelakang asal usulnya, warna kulit, jenis kelamin bahasa dan sebagainya. Ini adalah konsekuensi logis dari doktrin Kemahaesaan Allah. Semua manusia dengan berbagai latarbelakangnya itu pada ujungnya berasal dari sumber yang tunggal, ciptaan Tuhan. Keunggulan yang dimiliki manusia satu atas manusia yang lain hanyalah pada aspek kedekatannya dengan Tuhan.

Pernyataan-pernyataan al Qur-an dan hadits Nabi saw. di atas selanjutnya menjadi dasar Nabi saw untuk mendeklarasikan apa yang dikenal dengan “Shahifah Madinah”, “Mitsaq al Madinah” atau Piagam Madinah, pada tahun 622 M. Isinya meliputi kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat Madinah. Para ahli sejarah menyatakan bahwa Piagam Madinah ini adalah naskah otentik yang tidak diragukan keasliannya tentang prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Sebagian menyatakannya sebagai deklarasi HAM pertama di dunia. 

Demikianlah, maka atas dasar itu semua, banyak pemikir muslim antara lain Dr. Nurcholish Madjid, dengan tegas menyatakan bahwa Hak-hak Asasi Manusia Universal (DUHAM) sesungguhnya mendapatkan inspirasi dan diilhami oleh ajaran-ajaran Islam. Islam adalah agama yang telah mendeklarasikan hak-hak dasar manusia jauh berabad lamanya sebelum DUHAM. Menurut Nurcholish "pandangan dasar kemanusiaan yang berasal dari Madinah tersebut diadopsi ke Eropa oleh Giovani Pico della Mirandola, filosof terkemuka zaman renaissance. Dia menyampaikan orasi tentang "Martabat Manusia" pada tahun 1486 di Roma di hadapan para sarjana Eropa. Dia dengan terang-terangan mengakui bahwa pikiran-pikirannya diperoleh dari bacaannya atas karya-karya intelektual muslim". (Nurcholish, Indonesia Kita, Universitas Paramadina, Jakarta, cet. III, 2004, hlm. 67).

Dengan penjelasan serba singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Hak-Hak Asasi Manusia adalah sejalan dengan visi Islam, bahkan Islam telah memelopori prinsip-prinsip kemanusiaan ini jauh berabad sebelum dunia Barat mendeklarasikannya.

Share :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar